Jakarta, JurnalBabel.com – Pemerintah didorong oleh berbagai kalangan membuat regulasi untuk mengisi pejabat kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023 melalui proses seleksi. Pasalnya, masa tugas yang diemban oleh para penjabat kepala daerah ini cukup panjang hingga kepala daerah definitif pada 2024.
Selain itu, penjabat daerah juga mesti berhadapan dengan beragam isu politik jelang Pemilu Serentak 2024. Sementara penjabat kepala daerah tidak memiliki kewenangan yang memadai yang khawatir membuat upaya menyejahterakan masyarakat menjadi terhambat.
Adapun sebanyak 101 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 2022 ini. Mereka terdiri dari 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota. Sementara pada 2023, ada 170 kepala daerah yang masa jabatannya berakhir. Mereka terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten.
Hal tersebut merupakan konsekuensi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mengamanatkan Pilkada serentak pada 2024, sehingga pada 2022 dan 2023 tidak ada Pilkada.
Permasalahan proses seleksi calon penjabat kepala daerah ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Yang diatur dalam UU Pilkada yakni, untuk penunjukan penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dipilih oleh Presiden setelah diusulkan tiga nama oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Sementara untuk penunjukan penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama yang diajukan oleh Gubernur dan dipilih oleh Kemendagri.
Anggota Komisi Pemerintahan Dalam Negeri (Komisi II) DPR, Zulfikar Arse Sadikin, mengatakan penjabat kepala daerah berasal dari aparatur sipil negara atau ASN. Mereka ketika menduduki jabatan pimpinan tinggi madya untuk provinsi dan pratama untuk kabupaten/kota, sebut Zulfikar, sudah melalui proses diseleksi yang ketat dengan mempertimbangkan keahlian, kepangkatan, rekam jejak dan lainnya.
“Bahkan dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, itu melibatkan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) seleksinya. Jadi orang yang menduduki pimpinan tinggi madya dan pratama itu memang orang yang sudah terpilih dari proses seleksi,” kata Zulfikar Arse Sadikin saat dihubungi jurnalbabel.com, Selasa (18/1/2022).
Dalam UU Pilkada, lanjut Zulfikar, ASN tersebut diberi ruang bisa menjadi penjabat kepala daerah. Untuk menjadi penjabat itu pun, papar Zulfikar, Gubernur ketika mengusulkan ke Kemendagri lalu mengusulkan ke Presiden, pasti melakukan seleksi. Sebab, mereka mengusulkan minimal 3 nama.
Menuju ketiga nama itu, pejabat pembina kepegawaian, Gubernur, Kemendagri, melakukan seleksi di internal, sehingga menghasilkan tiga nama itu.
“Jadi mau apalagi sebenarnya?” ujar politisi Partai Golkar ini mempertanyakan Pemerintah didorong melakukan seleksi calon penjabat kepala daerah.
Legislator asal Jawa Timur ini menekankan Pemerintah dalam menunjuk penjabat kepala daerah harus orang-orang yang sudah mumpuni, mengenal, menguasai daerahnya, bisa berkomunikasi dengan berbagai stakholder, dan dipastikan tidak dipakai untuk alat pemenangan.
“Regulasi sudah mengatur (penunjukan penjabat kepala daerah), tinggal menjalankan saja,” katanya.
Personil Terbatas
Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Gerindra, Supriyanto, menambahkan Pemerintah tidak perlu melakukan seleksi calon penjabat kepala daerah. Pasalnya, orang yang dapat dipilih menjadi penjabat terbatas.
“Pertanyannya yang mau diseleksi apa coba? Barangnya saja belum tentu ada nanti, orangnya terbatas,” kata Supriyanto saat dihubungi terpisah.
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, kata Supriyanto, penjabat Bupati/Walikota itu diisi oleh kepala dinas tingkat provinsi atau setingkat eselon 2A. Sementara penjabat Gubernur itu diambil Dirjen eselon 1 dari Kemendagri.
“Kepala daerah yang habis masa jabatannya dan tidak maju lagi, mungkin saja itu diperpanjang masa jabatannya. Tapi ketentuan UU tidak ada. Oleh karena itu yang terbaik tidak usah seleksi, yang kemudian dipilih pejabat yang setingkat yang mempunyai karakteristik, kejujuran dan kapabilitas yang baik,” paparnya.
Lebih lanjut Supriyanto menjelaskan Pemerintah mempunyai ASN eselon 1 di beberapa Kementerian. Maka, apabila Dirjen atau pejabat eselon 1 di Kemendagri, tidak memenuhi untuk mengisi penjabat Gubernur di beberapa daerah, bisa diambil dari Kementerian lain yang memiliki beban kerja setingkat Gubernur.
Sementara untuk penjabat Bupati/Walikota, bisa diambil dari pejabat eselon 2 dari Kementerian apabila di Kepala dinas tingkat provinsi tidak mencukupi.
“Kalau dilakukan seleksi, orang barangnya kurang kok dilakukan seleksi. Tidak perlu seleksi, seleksinya untuk mengukur kredibilitas penjabat itu. Sehingga ini lebih kepada penilaian pimpinan,” tegas legislator asal Jawa Timur ini.
Sementara itu, pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, mengajak semua pihak untuk mendiskusikan masalah ini. Namun ia menyarankan nama calon penjabat kepala daerah yang diajukan Kemendagri dipilih oleh DPRD setempat.
“Tapi itu harus ada pijakan UU-nya. Jadi selama itu belum ada, maka Kemendagri yang menentukan,” kata Hendri Satrio.
(Bie)