Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR Fraksi NasDem, Aminurokhman, meminta Pemerintah konsisten dan taat asas terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan pertimbangan hukum bahwa anggota TNI/Polri aktif harus mundur/pensiun dari jabatannya jika diangkat jadi penjabat (Pj) kepala daerah. Pasalnya, MK memutuskan larangan tersebut berlandaskan konstitusi.
Bentuk konsisten dan taat asas tersebut, menurut Aminurokhman bahwa Pemerintah harus membuat aturan turunan dari putusan MK tersebut. Baik itu nantinya berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) atau regulasi setingkatnya.
Sebab, lanjut Aminurokhman, terdapat empat Undang-Undang (UU) yang menjadi rujukan MK yang melarang anggota TNI/Polri aktif jadi Pj Kepala Daerah. Yaitu, UU Pilkada, UU ASN, UU Polri dan UU TNI.
“Ketika putusan MK ini sudah diterima Pemerintah, tentu Pemerintah harus segera menindaklanjuti untuk melaksanakan putusan MK itu,” kata Aminurokhman saat dihubungi, Minggu (24/4/2022).
“Pemerintah harus bisa menerbitkan regulasi yang bisa akomodir semua substansi UU itu, dan tidak boleh keluar dari putusan MK,” sambungnya.
Selain itu, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini meminta dalam aturan turunan tersebut Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengevaluasi/mengganti Pj Kepala Daerah yang kinerjanya tidak sesuai harapan.
“Ada ketentuan dari putusan MK yang normatif, pada masa pengangkatan PJ ini, Pemerintah berkewajiban mengevaluasi. Kalau kinerja tidak sesuai dengan yang diharapkan, bisa diganti dengan Pj yang baru lagi. Jadi tidak permanen,” jelas mantan Wali Kota Pasuruan ini.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan judicial review Pasal 201 ayat 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota mengenai pengangkatan penjabat kepada daerah, yang diputuskan pada Rabu (20/4/2022).
Keputusan tersebut, tidak memperbolehkan anggota TNI-Polri aktif menjadi penjabat (Pj) gubernur hingga wali kota selama masa transisi menuju Pilkada Serentak 2024. Prajurit TNI dan anggota Polri diperbolehkan menjabat jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari instansinya.
Meski demikian, MK memberikan sejumlah panduan untuk menunjuk penjabat kepala daerah merujuk UU 5/2014 tentang ASN yang menyatakan, jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002).
MK menyebut, jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden.
Selain itu, dalam UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif sebagaimana Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014.
Pada tahun ini, terdapat 101 kepala daerah yang habis masa jabatannya dan Pemerintah menunjuk penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut sampai 2024. Begitu juga pada 2023, terdapat 170 kepala daerah yang masa jabatannya berakhir.
Penunjukan Pj kepala daerah tersebut merupakan konsekuensi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mengamanatkan Pilkada serentak pada 2024, sehingga pada 2022 dan 2023 tidak ada Pilkada.
Dalam UU Pilkada, penunjukan penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dipilih oleh Presiden setelah diusulkan tiga nama oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Sementara untuk penunjukan penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama yang diajukan oleh Gubernur dan dipilih oleh Kemendagri.
(Bie)