Jakarta, JurnalBabel.com – Dalam rangka mengupayakan penataan regulasi di Indonesia dan melaksanakan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU- XVIII/2020 serta mempertimbangkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka perlu dilakukan perubahan kedua terhadap UU P3.
Demikian disampaikan Supriansa selaku perwakilan DPR RI dari Komisi III Hukum, HAM, dan Keamanan saat memberikan keterangan terhadap uji formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (8/9/2022).
Sidang kelima dari permohonan Nomor 69/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Partai Buruh dan sejumlah perorangan.
Lebih jelas Supriansa menerangkan pada UU terdahulu belum memuat dan menetapkan ketentuan tentang teknik pembentukan peraturan perundang-undangan secara elektronik, keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang lebih bermakna, dan pendayagunaan jabatan fungsional yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, serta beberapa penyempurnaan teknik penyusunan naskah akademik dan peraturan perundang-undangan. Sehingga muatan substansi pembentukan UU P3 dalam perkara ini telah memberikan kepastian hukum.
Di dalamnya, kata Supriansa, telah memuat pengaturan metode omnibus untuk jaminan kepastian hukum; adanya muatan perbaikan kesalahan teknis non-substansial; adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna; proses pembentukannya yang dapat dilakukan secara elektronik; adanya perubahan sistem pendukung dari peneliti menjadi analis legislatif dan menambah sistem pendukung berupa analis hukum; penyempurnaan teknik penyusunan naskah akademik; dan penyempurnaan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Sehingga melalui UU 13/2022 ini, Pemerintah melakukan penyempurnaan terhadap UU 12/2011 jo. UU 15/2019 sebagai bagian dari pelaksanaan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020,” terang Supriansa dalam Sidang Pleno yang dilaksanakan secara daring dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Tidak Beralasan Hukum
Selanjutnya DPR dalam keterangannya menanggapi uji formil oleh para Pemohon yang mendalilkan pembentukan UU P3 dinilai memuat pelanggaran atas pemenuhan asas keterbukaan. DPR berpendapat, hal demikian tidak beralasan hukum. Sebab, dalam proses penyusunannya telah memenuhi asas keterbukaan, bahkan para Pemohon dapat mengakses dengan mudah mengenai keterbukaan proses pembentukan UU tersebut pada laman resmi DPR, streaming media sosial, dan TV Parlemen.
Di samping itu, kata Supriansa, masyarakat juga diberikan akses untuk mengunduh konsep awal Naskah Akademik dan RUU Perubahan Kedua UU a quo melalui laman Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR yakni pusatpuu.dpr.go.id Sebagai tambahan, jelas Supriansa, masyarakat pun dapat memanfaatkan sarana partisipasi publik secara daring melalui Sistem Informasi Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang (SIMAS PUU).
“Berdasar penjelasan tersebut, daIiI-daIiI para Pemohon secara keseluruhan tidak beralasan hukum sehingga daIiI-daliI yang demikian tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan UU P3 cacat formil. UU tersebut secara konstitusional telah sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar serta tidak memiliki cacat formil,” tegas Supriansa.