Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Anas Thahir, menyoroti kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN yang sampai saat ini belum mengcover seluruh rakyat Indonesia.
Anas mengungkapkan, masih ada 50 juta rakyat Indonesia yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan. Artinya seperlima dari penduduk Indonesia belum dapat jaminan kesehatan dari negara.
“Kalau ini dibiarkan seperti ini, artinya negara abai terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, padahal ini amanat konstitusi,” kata Anas Thahir dalam rapat dengar pendapat umum Baleg DPR dengan Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Ketua Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan dalam rangka penyusunan RUU Omnibus Law tentang Kesehatan, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/11/2022).
Menurut Anas, perlu semacam terobosan pemaksaan melalui aturan Undang-Undang (UU), sehingga kedepan tidak ada lagi perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya dalam kepesertaan JKN. Tidak ada lagi bayi-bayi yang baru lahir tidak secara otomatis masuk dalam kepesertaan JKN.
Sebab, lanjut Anas, kepesertaan ini hubungkan dengan data yang bermasalah. Data yang sudah membayar iuran, belum di bayar oleh Pemerintah, antara Kemenkes, Kemensos, BPJS Kesehatan sering berbeda-beda.
Bahkan, ungkap Anas yang juga anggota komisi IX DPR yang membidang masalah kesehatan ini, dua tahun lalu perbedaannya sampai 6 juta orang, walau ada pembelaan-pembelaan ini belum di upgrade, sudah meninggal bahkan yang sudah meninggal masih dicatat.
“Jadi memang perlu pemaksaan yang harus menjadi catatan penting dalam penyusunan RUU Kesehatan dalam bingkai Omnibus Law ini,” tegasnya.
Selain itu, politisi PPP ini juga menyoroti kesenjangan dalam pemberian fasilitas dalam program JKN ini. Ia mengatakan kesenjangan masih sangat jauh antara di kota dengan daerah, bahkan antar daerah pun terjadi kesenjangan.
“Bahkan kasian ada di beberapa rumah sakit di daerah-daerah untuk penyakit-penyakit tertentu harus dirujuk sampai 1-2 hari,” ungkapnya.
Seharusnya, kata Anas, kewajiban pembayaran antar peserta selama kelasnya sama, mereka seharusnya mendapatkan layanan fasilitasnya kurang lebih sama. Saat ini, tegasnya, kesenjangannya masih sangat jauh antara di kota dengan yang di daerah.
“Kesenjangan ini harus diakomodasi dalam penyusunan RUU ini,” katanya. (Bie)