Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi I DPR Fraksi PKS, Sukamta, menekankan, penunjukan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sebagai orkestrator yang mengkoordinasi informasi intelijen terkait pertahanan dan keamanan, tidak sesuai dengan amanat undang-undang (UU).
“Jika fungsi ini diamanatkan kepada Kementerian Pertahanan, itu tidak sesuai dengan amanat UU Intelijen,” ujar Sukamta kepada wartawan, Kamis (19/1/2023).
Sukamta memaparkan, sebenarnya sudah ada aturan yang mengatur soal koordinasi intelijen negara.
Di dalam Pasal 38 pada amanat UU RI Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, tertulis koordinator penyelenggara intelijen negara adalah Badan Intelijen Negara (BIN).
“Penyelenggara Intelijen Negara sendiri terdiri atas BIN, intelijen TNI, intelijen Polri, intelijen Kejaksaan RI dan intelijen kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian,” urainya.
Sukamta menyebut, semua tugas dan fungsi intelijen bidang keamanan dan pertahanan harus berada dan wajib di bawah koordinasi BIN.
Apalagi, BIN memang berfungsi untuk memadukan produk intelijen, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU Intelijen Negara.
“Informasi-informasi intelijen yang dikoordinasikan dari lembaga-lembaga negara dipadukan oleh BIN, untuk diolah dan dilaporkan langsung kepada Presiden selaku single user intelijen negara untuk dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan publik,” jelas Sukamta.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menugaskan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto agar Kemenhan menjadi lembaga yang mengkoordinasi informasi intelijen terkait pertahanan dan keamanan.
Hal ini disampaikan Jokowi saat menghadiri Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan di kantor Kementerian Pertahanan, Rabu (18/1/2023).
“Tadi di dalam saya menyampaikan pentingnya Kementerian Pertahanan menjadi orkestrator bagi informasi-informasi intelijen di semua lini yang kita miliki,” kata Jokowi, Rabu.
Jokowi menyebutkan, informasi intelijen itu selama ini berasal dari banyak institusi, antara lain Badan Intelijen Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, serta Badan SIber dan Sandi Negara.
Menurut dia, beragam informasi itu harus dijadikan sebagai informasi yang solid untuk menjadi pertimbangan dalam membuat kebijakan.
“Ini harus diorkestrasi agar jadi informasi yang satu sehingga kita memutuskan policy, memutuskan kebijakan, itu betul, paling tidak mendekati benar,” ujar Jokowi.
Ia pun mewanti-wanti agar jangan sampai potensi terjadinya sebuah peristiwa baru dilaporkan kepadanya saat sudah kejadian.
“Langkah kerja memang harus preventif terlebih dahulu, ini hati-hati. Ini akan terjadi, kemungkinan akan terjadi seperti ini, jangan sudah kejadian saya baru dikasih tahu,” kata Jokowi.
Sumber: kompas.com