Jakarta, JurnalBabel.com – Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Suparji Achmad, menyatakan terpidana kasus korupsi Anas Urbaningrum bakal segera menghirup udara bebas.
Meski demikian, ia menyebut kasus Anas masih menimbulkan banyak tanda tanya dan ketidakadilan yang masih membekas.
Pertama, Suparji menekankan soal Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang bocor. Bocornya Sprindik tersebut kemudian melahirkan Komite Etik yang kemudian memberikan sanksi kepada beberapa pimpinan KPK.
“Yang misterius dalam sprindik tersebut adalah sangkaan terkait dengan proyek Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya, tidak dijelaskan dengan gamblang apa yang disebut dalam frasa ‘dan atau proyek-proyek lainnya’. Narasi tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum atau menunjukkan kalimat yang kabur,” kata Prof. Suparji dalam keterangan persnya, Senin (3/4/2023).
Kedua, ia menganggap substansi kasus terkesan dicari-cari dan dipaksakan. Substansi yang digunakan untuk mendakwa bermula dari proyek Hambalang, namun hal itu terbantahkan karena tidak ada satu pun dokumen yang secara eksplisit menyebut keterlibatannya.
”Secara dokumen dan proses tidak terlibat, tidak ada dokumen satu pun tertulis nama Anas Urbaningrum. Setelah konstruksi Hambalang tidak terbukti lari ke Kongres Partai Demokrat di Bandung, Mei 2010. Dalam kontruksi kongres tersebut, menyisakan misteri karena tidak semua pihak yang memiliki otoritas atas kongres tidak diminta keterangannya,” ungkapnya.
Ketiga, ia menegaskan bahwa ada rekonstruksi fakta yang tidak terbukti. Padahal, penegakan hukum seharusnya dilakukan secara hati-hati, cermat, dan komprehensif dengan memperhatikan fakta yuridis dan fakta empirik, sehingga putusan yang diberikan hakim berkeadilan, berkepastian, dan bermanfaat.
“Namun dalam kenyataannya, putusan perkara ini telah mengabaikan fakta persidangan, karena tidak terungkap secara terang benderang berdasarkan alat bukti yang sah dan meyakinkan keterlibatan dalam tindak pidana korupsi Wisma Atlet Hambalang dan sejumlah proyek lain pada kurun waktu 2010-2012,” tuturnya.
Keempat, Suparji menilai rasionalisasi putusan Anas tidak obyektif. Putusan tersebut, kata dia, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan tidak memiliki legal reasoning, karena tidak ada rasionalisasi atas pidana penjara, pidana denda, pembayaran uang pengganti dan pencabutan hak politik.
Menurutnya, penjatuhan pidana uang pengganti kepada terdakwa tidak sepenuhnya tepat, karena tidak ada bukti perbuatan terdakwa melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Putusan ini tidak adil, karena dugaan adanya kerugian negara harus ditimpakan kepada terdakwa.
“Penerapan hukuman uang pengganti yang sangat berat bertendensi untuk menambahi pidana penjara, mengingat kemampuan untuk membayar uang pengganti tersebut sangat tidak mungkin,” jelasnya.
Kejanggalan lain yang fantastis, kata dia, munculnya asumsi calon Presiden. Di mana konstruksi surat dakwaan dimulai dengan kalimat yang tidak menggambarkan fakta dan asumsi yang prematur, yaitu menggambarkan Anas Urbaningrum mempunyai keinginan untuk menjadi presiden.
“Itu merupakan sebuah konstruksi surat dakwaan dengan prolog yang spekulatif dan pada akhirnya tidak terbukti dalam persidangan,” katanya.
Ketidakadilan dan ketidakpastian yang sangat terang benderang adalah terkait dengan disangkakan pasal TPPU yang tidak pernah dibuktikan tindak pidana asalnya, baik dibuktikan sebelumnya atau pada saat persidangan yangg sama.
“Jangankan dibuktikan, sekadar diuraikan dengan jelas tindak pidana asalnya pun tidak pernah ada di dalam surat dakwaan dan persidangan. Bagaimana ada TPPU tanpa ada tindak pidana asal (predicat crime)? Nyata-nyata ini adalah pemaksaan hukum atau persekusi hukum yang membelakangi prinsip keadilan,” pungkasnya. (Bie)