Jakarta, JurnalBabel.com – Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang merupakan terpidana kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet Hambalang, besok Selasa (11/4/2023), bebas menghirup udara segar dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Anas bebas setelah divonis hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan. Tak hanya itu, Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS sebab terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Suparji Achmad, mendorong Anas Urbaningrum terus mencari dan penjuangkan keadilan atas kasus yang menjeratnya.
Pasalnya, papar dia, banyak kejanggalan dan ketidakadilan dalam kasus Anas ini. Mulai dari bocornya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) penetapan tersangka Anas oleh KPK, kasus terkesan dipaksakan dan dicari-cari, rekonstruksi fakta yang tidak terbukti dan rasionalisasi putusan Anas tidak obyektif.
“Bukan sebuah jaminan apa yang diputuskan pengadilan adalah sebuah identik kebenaran. Contoh dikemudian hari ternyata ditemukan kebenaran-kebenaran baru. Oleh karena itu, tidak boleh berhenti menegakan kebenaran, keadilan karena ada keputusan pengadilan,” kata Prof. Suparji dalam podcast channel youtube ThePhrase.id, Senin (10/4/2023).
“Perjuangan menegakan kebenaran, keadilan, tidak berhenti karena putusan pengadilan. Karena idealnya pengadilan identik dengan keadilan dan kebenaran, tetapi tidak terbuka kemungkinan. Artinya ada kemungkinan yang bisa terjadi kebenaran-kebenaran yang tersembunyi. Yang kemudian harus terus dilakukan diperjuangkan, sehingga melahirkan benar-benar sebuah keadilan berdasarkan kebenaran yang material,” tambahnya.
Lebih lanjut Prof. Suparji memaparkan urgensi agar Anas Urbaningrum terus mencari dan memperjuangkan keadilan. Pertama, menunjukan kebenaran yang didukung bukti, fakta, kebenaran yang sebenar-benarnya. Kedua, mewujudkan sebuah keadilan berdasarkan fakta dan alat bukti bisa terwujud.
Ketiga, ada ruang menegakan keadilan upaya luar biasa, misalnya peninjauan kembali (PK) karena itu dimungkinkan dalam konteks menegakan sebuah keadilan.
“Proses hukum sudah dijalani, ketika ada merasa yang sebuah ketidakadilan itu bisa dibuktikan, maka tidak boleh berhenti untuk memperjuangkan ketidakadilan itu,” tegasnya.
Keempat, dalam rangka melakukan klarifikasi, rehabilitasi agar memang ada sebuah putusan yang menyatakan bebas murni bahwa yang bersangkutan tidak terlibat tindak pidana korupsi.
“Tentunya urgensi yang paling mendasar yang filosofis adalah bagaimana mampu mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang berintikan pada sebuah keadilan, kepastian, kemanfaatan, bagaimana hukum bekerja secara independen, integritas, profesional, tidak ada kepentingan politik,” kata Prof. Suparji.
Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) ini menambahkan, “Yang penting juga adalah ini jadi preseden kedepan agar pada saatnya nanti orang tidak berhenti perjuangkan keadilan ketika memang masih merasa ada ketidakadilan dari putusan pengadilan tersebut.”
(Bie)