Jurnalbabel.com—-PARA PERANTAU dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berdomisili dan mencari sesuap nasi di Bangka Belitung (Babel), menyatakan tekad untuk menenun persaudaraan. Peristiwa indah itu, terjadi bertepatan dengan Perayaan Pesta Perak Imamat beberapa Romo Keuskupan Pangkalpinang, RD Lucius Poya Hobamatan, RD Philips Seran (almahrum), RD Bernardus Somi Balun, dan RP Pankratius Kraeng, SS.CC
Keindahan dan harmoni versi para perantau dari Flores, Sumba, Timor, Alor, Sabu Rote, dan Lembata (Flobamorata) itu dilengkapi sebuah pencerahan atau motivasi yang disuguhkan oleh Romo Vikaris Episkopal (Vikep) Bangka Belitung, RD Justinianus Ta’Laleng.
Redaksi jurnalbabel.com pun terhipnotis oleh suguhan pencerahan itu, dan melansir dalam kolom ini.
Hari ini kita berkumpul bersama sebagai satu keluarga yang kita sebut keluarga Flobamorata. Saat melihat sebuah foto yang dikirim di WA Group Keluarga Besar Lamoholot, pada latar belakang acara kita hari ini tertulis Tema Pertemuan hari ini: Menenun Persaudaraan. Pikiran saya kembali ke masa kanak-kanak saya, ke ibu saya, ke perempuan-perempuan di kampung saya, dan mungkin juga perempuan-perempuan yang ada di NTT, ya soal menenun.
Menenun selalu identik dengan perempuan. Seorang perempuan tidak akan dipandang sebagai perempuan atau belum menjadi perempuan dewasa yang siap berumah tangga, kalau mereka belum bisa menenun. Dan hari ini, aktivitas perempuan itu, menenun (kata kerja), dijadikan sebagai awal kata tema kita untuk mencapai sebuah kata berikutnya: “Persaudaraan”.
Bagi saya ini bukan kebetulan. Mungkin panitia saat mereumuskan ini, melihatnya sebagai kebetulan, tapi bagi saya melihat ini dalam sebagai peristiwa dan pesan iman. Kita semua diajak kembali untuk dari perempuan, ke ibu kita, ke kakak atau adik perempuan kita soal menenun.
Dan saya berani mengatakan, melalui Romo Beni Balun, dalam peristiwa syukur 25 Tahun ini, ada seorang Ibu yang luar biasa yakni Bunda Maria (Bulan Mei-Bulan Maria) mengajak kita untuk kembali untuk belajar dari perempuan-perempuan NTT soal menenun.
Tenun atau menenun tidak sekedar proses untuk menghasilkan lembaran kain yang untuk dipakai menutup tubuh dan atau alat tukar. Tetapi jauh melampaui itu merupakan simbol perjuangan dan perlawanan terhadap dominasi kaum lelaki, juga untuk mempertahankan identitas, martabat mereka sebagai perempuan sekaligus agar menjadi daya tarik yang bisa membawa pesona mereka di hadapan kaum laki-laki. Mari kita memberi apresiasi secara istimewa kepada perempuan-perempuan dan hari ini kita belajar dari mereka tentang menenun persaudaraan. . Untuk itu, kita bisa dapat bertanya model persaudaraan seperti apa yang mau kita tenun dan bagaimana proses untuk memenun. Bagi saya, proses pembuatan selembar tenun adalah sesuatu yang istimewa dan bahkan bermartabat bagi seorang perempuan. Amat beralasan mengapa proses pembuatan kain tenun disebut bermartabat.
Pertama, perempuan penenun akan melakukannya secara manual dengan bantuan peralatan-peralatan tenun tradisional. Mereka memetik kapas, lalu mintal benang dari kapas, selanjutnya memberi warna dengan bahan-bahan pewarna alami. Hal ini selain menunjukkan peran keterlibatan perempuan dalam proses penciptaan.
Pada saat yang sama menegaskan pengakuan bahwa alam sekitar memiliki kekuatan yang perlu dibagikan. Nah, kalau kita ingin membangun persaudaraan, kita juga harus tahu siapa-siapa saja yang harus kita kumpulkan, kita harus tahu dimana mereka tinggal, siapa namanya, apa pekerjaannya, dari mana.dll. Kedua, hal itu membutuhkan waktu, kesabaran dan ketekunan. Lantaran menenun membutuhkan kecermatan dan ketelitian. Setiap jenis tenun memiliki waktu proses yang berbeda-beda.
Untuk menenun jenis songket, bisa dibutuhkan waktu dua sampai tiga minggu. Untuk tenunan jenis ikat dibutuhkan waktu satu bulan. Sdan jenis tenunan lainnya. Masing-masing jenis tenunan memiliki tingkat ketelitian dan kecermatannya sendiri. Dan inilah yang membuat harga tenunan di NTT itu mahal. Sebagai Pengurus atau Anda yang diberi tanggungjawab untuk mendamping komunitas-komunitas NTT yang ada di sini, ingat proses unutuk menciptakan suatu persaudaraan sejati itu buruh waktu, butuh kesabaran untuk memahami karakter setiap orang, dengan latar belakangnya yang beragam.
Dan Anda juga harus belajar untuk sabar. Sama seperti orang menenun. Ketika dalam proses menenun itu ada benang kusut, orang tidak langsung main potong, gunting, tapi dengan sabar dan teliti, mengurai kekusutan itu. Sehingga dapat melanjutkan proses menenun. Kalau kita tidak, ketika ada salah satu atau beberapa orang tidak sejalan dengan kita, ada benang kusut dalam komunikasi dan relasi kita dengan orang lain, kita mulai main tendang, singkirkan, “gunting”. Tidak lagi melibatkan dia dalam proses perjalanan bersama itu.
Hal yang berikut, menenun juga merupakan aktivitas olah daya pikir dan imajinasi. Lantaran proses menenun melibatkan emosi/perasaan dan maksimalisasi peran imajinasi menjadi faktor penting dan utama dalam menenun. Apalagi ketika penenun harus menenun berdasarkan motif-motif purba. Seperti di kabupaten Sikka, untuk motif korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan sesaweor (ekor ikan sesa), atau lawa jara (motif kuda dan penunggangnya). Atau di kabupaten Ende untuk motif klasik seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), lawo zombo/ rombo (motif pepohonan lambang kehidupan), dan lawo nepa mite di Nggela yang bermotifkan ular. Untuk menenun motif-motif in, butuh imajinasi yang lebih lantaran selain melawan lupa juga menjumpa identitas diri.
Demikian juga dalam menenun persaudaraan anda harus berkumpul bersama, diskusi, curah gagasan, berbagi kisah untuk menentukan motif-motif atau identitas diri anda sebagai orang NTT dengan kekhasan daerah masing-masing. Lalu kemudian menentukan model gambaran ideal yang merupakan jati diri identitas kita sebagai orang NTT (Visi bersama).
Kita semua sudah punya motif-masinng-masing, tapi apakah kita menyatukan motif-motif itu untuk menjadi satu gambaran identitas diri kita sendiri sebagai orang NTT. Jangan-jangan kita sendiri tidak tahu motif-motif daerah kita masing-masing, sehingga sulit untuk menyatukannya?? Dan itu kita perlu kembali ke roh leluhur kita dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk menemukan motif-motif itu.
Demikian, juga sebagai bagian dari aktivitas merajut kehidupan, proses menenun adalah proses yang sakral, lantaran dalam prosesnya terjadi perjumpaan dan relasi kedekatan antara manusia dengan Yang Tertinggi, pun bermartabat lantaran memperjumpakan manusia dengan dirinya sendiri dan sesama, pun dengan lingkungan alam sekitarnya.
Ingat bahwa dalam proses pembuatan sebuah tenunan tidak hanya melibatkan pengetahuan dan pemahaman tentang kehidupan, atau hanya dibutuhkan imajinasi dan keahlian tetapi juga totalitas dan ketulusan. Karena bagi mereka menenun motif perjalanan kehidupan manusia sama seperti merawat kehidupan, membimbing ziarah hidup manusia dalam perjalanan menuju keabadian. (maka kenapa setiap perempuan di NTT punya motif-motif sendiri yang menggambarkan makluk atau simbol-simbol tertentu.
Dan orang lain sulit untuk menirunya. Ini soal totalitas, ketulusan, dalam relasi dan perjumpaan dengan Tuhan dan sesama. Kita tidak kehilangan jati diri dalam perjumpaan itu. Semua proses ini, membuat tenunan NTT itu berkarakter, memiliki martabat dan mahal. Dan inilah YANG MEMBUAT TENUN KITA BEGITU PESONA . Nah, pesona seperti apa yang mau kita tampilankan dalam persaudaraan kita sebagai satu keluarga yang kita namakan FLOBAMORATA INI.. Terimakasih Tuhan memberkati
Penulis : RD Justino