Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR, Adde Rosi Khoerunnisa, mengingatkan aparat penegak hukum (APH) tidak bisa menerapkan restorative justice atau keadilan restoratif pada kasus kekerasan seksual.
Pasalnya, kata dia, hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Yang namanya pelecehan seksual, apabila korbannya dibawah umur atau korbannya kaum disabilitas bukanlah delik aduan, tapi delik umum. Artinya kasus tersebut tidak bisa di restorative justice,” kata Adde Rosi saat dihubungi wartawan, Jumat (2/6/2023).
Sekedar informasi, restorative justice adalah sebuah pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan menggelar mediasi diantara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum.
Adde Rosi pun menyesalkan, saat ini masih banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang diselesaikan melalui jalur restorative justice. Padahal, UU TPKS sudah mengatur hal itu.
Lebih lanjut politisi Partai Golkar ini mengatakan aparat penegak hukum harus bisa mengaplikasikan UU TPKS.
Selain itu, tambahnya, seluruh elemen masyarakat mempunyai kewajiban juga untuk mensosialisasikan undang-undang tersebut. Pasalnya, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa pelecehan seksual itu bukan tindak pidana umum.
“Ini yang saya titik beratkan. Semoga APH selaku mitra dari DPR RI Komisi III bisa memahaminya,” tegas legislator asal Dapil Banten ini seperti dikutip dari bantennews.co.id.
(Bie)