JurnalBabel.com – Ketua Komisi VIII DPR, Ashabul Kahfi, menyatakan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji sudah harus menjadi skala prioritas.
Hal ini disampaikan usai menjadi pembicara pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bersama Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan judul Berkhidmat untuk Umat: Menuju Pengelolaan Keuangan haji yang Profesional, Transparan dan Akuntabel di Aula Prof Dr Baharuddin Lopa, SH Fakultas Hukum Unhas Makassar, Jum’at (3/11/2023).
Menurut Ashabul Kahfi, salah satu tujuan dari seminar nasional ini adalah menerima masukan dari para akademisi dan ahli hukum terkait rencana revisi UU 34 tahun 2014.
“Revisi ini bertujuan agar undang-undang yang dihasilkan nanti lebih luwes dan fleksibel bagi BPKH, agar nantinya BPKH lebih lincah mengelola keuangan haji dan utamanya dalam hal investasi,” kata Ashabul Kahfi.
Ketua DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Sulsel ini menyinggung terkait hal yang menjadi skala prioritas untuk direvisi.
Pertama, agar BPKH ini diberi ruang yang lebih luwes untuk melakukan investasi yang lebih besar, sehingga bisa mendapatkan nilai manfaat yang lebih besar dengan prinsip azas-azas syariah, kehati-hatian. Kemudian nilai manfaat dan itu menjadi prinsip yang harus digaris bawahi.
“Ada sedikit yang mengganggu mereka di pasal 53 UU 34/2014 yaitu terkait tanggung renteng yang mana jika terjadi kerugian maka semua harus menanggungnya. Jadi kehadiran BPKH ini bukan hanya sekedar juru bayar atau dalam istilah entitas bisnis disebut kasir. Akan tetapi kehadiran BPKH dapat melakukan investasi sehingga kehadirannya dapat memberikan nilai manfaat yang lebih besar, sehingga manfaat yang besar itu dapat berkontribusi kepada Biaya Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH),” terangnya.
Ashabul Kahfi juga mengungkapkan, saat ini untuk biaya penyelenggaraan urusan haji 50 persen dan 50 persen di subsidi BPKH.
“Jika skema ini dipertahankan maka ini akan mengancam likuiditas dari BPKH, karena nilai manfaat yang didapatkan oleh BPKH dalam setahun hanya 10 triliun dan yang dibutuhkan untuk mensubsidi BPIH itu 13 triliun, jadi ini terjadi defisit dengan skema investasi hari ini dan skema subsidi haji,” jelasnya.
Ashabul Kahfi kembali menyinggung terkait skala prioritas yang perlu direvisi.
“Yang kedua itu adalah dana maslahat yang selama ini kurang lebih 200 jutaan. Itulah yang dibantukan kepada ormas-ormas Islam termasuk beasiswa. Tetapi jika nilai maslahat hanya 230 Miliar pertahun ini tentu sangat kecil. Namun jika nilai manfaatnya besar, tentu nilai maslahatnya juga besar,” tambahnya.
“Dan salah satu poin yang menyerap nilai manfaat yaitu penambahan kuota haji. Jika nilai manfaatnya cukup tak ada masalah, namun jika tidak cukup, ini yang akan menjadi masalah karena mengganggu sustainibilitas dari BPKH untuk itulah ini akan kita bicarakan,” pungkasnya. (Bie)
Sumber: upeks.co.id