Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR, Supriansa, sepakat Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dinobatkan sebagai Tokoh Restorative Justice atau keadilan restoratif. Supriansa mengatakan restorative justice dewasa kini sangat dibutuhkan di Indonesia.
“Pak Jaksa Agung dinobatkan sebagai tokoh restorative justice oleh detikcom dan kami sepakat itu karena ini sebenarnya sangat dibutuhkan bangsa ini,” kata Supriansa dalam rapat kerja Komisi III DPR RI bersama Jaksa Agung membahas pengamanan dan penegakan hukum Pemilu 2024, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/11/2023).
Supriansa menilai lembaga pemasyarakatan atau Lapas di Indonesia sudah over kapasitas. Untuk itu, kata Supriansa, penerapan restorative justice harus betul-betul dilaksanakan penuh.
“Dan ternyata, setelah ada pendekatan restorative justice ini, maka setidak-tidaknya bisa menjawab sejumlah over kapasitas yang ada di lapas di seluruh Indonesia yang benar-benar penuh,” ujarnya.
Sebab itu, tegas Supriansa, penghargaan ke Jaksa Agung Burhanuddin sebagai tokoh restorative justice sangat tepat.
“Karena itu, apa yang disampaikan oleh detikcom merupakan sebuah penghargaan yang tepat diberikan kepada jajaran kejaksaan terutama kepada Pak Jaksa Agung,” pungkas politisi Partai Golkar ini.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, detikcom menggelar detikcom Awards 2023. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin meraih penghargaan detikcom Awards 2023 kategori Tokoh Restorative Justice.
Burhanuddin menjadikan restorative justice sebagai program utamanya dalam mengedepankan keadilan bagi masyarakat.
Penghargaan detikcom Awards 2023 digelar di Westin hotel, Jakarta Selatan, Kamis (21/9/2023). Burhanuddin hadir langsung di lokasi.
Jaksa Agung Burhanuddin menjadikan restorative justice sebagai program utamanya. Program ini untuk mencegah perkara kecil sampai diproses hingga pengadilan.
Kurun 2020-2022, kejaksaan telah menyetop 2.103 perkara lebih lewat restorative justice sehingga menghadirkan keadilan untuk semua.
Secara umum terdapat 5 prinsip keadilan restoratif. Pertama, prinsip yang menekankan terhadap bahaya dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindak pidana, baik kepada korban, masyarakat, dan kepada pelakunya.
Kedua, prinsip yang menekankan kepada perlindungan dari tindakan yang terjadi, seperti terhadap keluarga pelaku dan masyarakat sekitarnya.
Ketiga, prinsip yang menekankan kepada proses kolaboratif yang inklusif.
Keempat, prinsip pelibatan para pihak tertentu dalam kasus-kasus tertentu, seperti pelaku, korban, keluarga, dan komunitas masyarakat yang dianggap secara sah dapat terlibat di dalamnya. Kelima, yaitu prinsip memperbaiki kesalahan.
(Bie)