Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS, Amin Ak, mewanti-wanti agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo benar-benar memberikan manfaat bagi koperasi dan UMKM lokal, bukan sekadar menjadikan mereka sebagai rantai pasok tanpa kendali atas distribusi dan harga bahan pangan.
Amin juga meminta Badan Gizi Nasional harus memastikan keterlibatan pelaku UMKM serta koperasi dalam program ini berjalan sesuai dengan visi Prabowo.
Ia khawatir, tanpa regulasi yang jelas, program MBG justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang mencari keuntungan tanpa memperhatikan kesejahteraan UMKM.
“Jangan sampai MBG hanya jadi bancakan para pemburu rente. Mereka pegang izinnya, lalu pekerjaannya di-subkontrakkan dengan harga yang tidak wajar,“ ujar Amin kepada wartawan, Jumat (21/2/2025).
Menurutnya, praktik di sejumlah daerah menunjukkan UMKM diminta menyediakan makanan dengan harga Rp10 ribu–Rp12 ribu per porsi.
Harga yang terlalu rendah ini berpotensi menurunkan kualitas makanan hingga di bawah standar serta membuat pelaku usaha mikro dan kecil sulit mendapatkan keuntungan.
Selain itu, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini juga mengingatkan UMKM perlu berinvestasi dalam peralatan dan sarana produksi untuk memenuhi kebutuhan program MBG.
Jika sistem subkontrak berantai terus dibiarkan, ia khawatir tujuan utama program ini, menumbuhkan ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja dan memberdayakan UMKM, akan sulit terwujud.
“Harus ada aturan yang melarang skema subkontrak berantai yang merugikan UMKM. Kalau tidak, harapan Presiden agar ekonomi lokal tumbuh dan UMKM berkembang akan sulit tercapai,” katanya.
Keterlibatan koperasi dalam program MBG memang terlihat sebagai langkah mendukung ekonomi daerah. Namun, seberapa besar peran koperasi dalam menentukan mekanisme distribusi dan harga bahan pangan masih menjadi pertanyaan.
Sebelumnya, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengatakan ada hampir 2.000 koperasi telah didata untuk berperan sebagai pemasok bahan baku MBG.
“Ada 1.923 koperasi yang siap menampung, berkontribusi dalam program makan bergizi gratis. Hal itu termasuk koperasi telur, koperasi sayur, beras, koperasi ikan, dan sebagainya,” katanya seusai rapat bersama Prabowo di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (3/1/2025).
Orang dekat mangan Presiden Joko Widodo ini mengklaim koperasi akan menjadi pemasok utama. Ia juga menambahkan, “Arahan Presiden, bahan bakunya harus dari Indonesia sehingga bisa menggerakkan ekonomi masyarakat. Bahan bakunya bukan impor.”
Tapi ada satu hal yang perlu dicermati, yakni koperasi hanya sebagai pemasok, bukan pengambil keputusan utama. Bahan pangan tetap didistribusikan melalui SPPG di bawah koordinasi Badan Gizi Nasional. Artinya, koperasi hanya akan memenuhi pesanan sesuai regulasi pusat.
Sistem ini bisa dibilang desentralisasi semu. Secara teknis, koperasi daerah memang dilibatkan, tapi mereka tidak memiliki kewenangan penuh untuk menentukan mekanisme distribusi atau pihak yang menyesuaikan kebutuhan pangan daerah.
Koperasi hanya menjadi rantai pasok, bukan pengendali pasar. Lantas, jika koperasi hanya sebagai pemasok dan distribusi tetap dikendalikan oleh pemerintah pusat, apakah benar ini menguntungkan ekonomi daerah?
Jika program ini memang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, seharusnya distribusi dan keputusan harga bahan pangan lebih fleksibel mengikuti kondisi di tiap daerah. Tapi dengan skema saat ini—di mana SPPG menjadi pusat kendali distribusi—ada risiko sentralisasi yang berlebihan.
Harga bahan pangan bisa lebih kaku karena ditentukan pusat, bukan berdasarkan permintaan dan penawaran lokal. Peluang usaha di daerah bisa terbatas, karena hanya koperasi yang terdaftar yang bisa ikut dalam program ini. Jika ada keterlambatan distribusi, dampaknya bisa signifikan, karena semua keputusan tetap harus menunggu koordinasi dari pusat.
Masalah sentralisasi ini juga bisa berbahaya, seperti yang terjadi di India. Program makanan gratis serupa di sana pernah mengalami tragedi besar, di mana 23 anak meninggal akibat keracunan makanan dari dapur umum terpusat. Jika pengelolaan terlalu kaku dan pengawasan tidak maksimal, risiko ini bisa saja terjadi di Indonesia.[