Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi IX DPR dengan Badan Keahlian Dewan (BKD) Setjen DPR mengadakan rapat dengar pendapat terkait pendahuluan penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam rapat yang diadakan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/2/2025), Anggota Komisi IX DPR Fraksi NasDem, Irma Suryani Chaniago, memberikan 10 point masukan terhadap RUU Ketenagakerjaan ini agar pasca disahkan menjadi UU tidak digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pertama, tenaga kerja lokal wajib diutamakan dalam semua jenis jabatan. Tenaga kerja asing hanya diperbolehkan jika posisi tersebut belum di isi tenaga kerja Indonesia.
“Tetapi tenaga kerja asing yang memiliki, yang menjadi tenaga kerja technical assisten/ahli teknologi, itu juga butuh perlindungan bahwa mereka boleh bekerja di Indonesia,” kata Irma Suryani.
Begitu juga, tenaga kerja asing wajib bisa berbahasa Indonesia. Terutama bagi yang ahli teknologi.
“Bagaimana bisa dia memberikan ahli teknologi kalau dia tidak bisa bahasa Indonesia, sementara orang Indonesia tidak bisa berbahasa asing. Ini menjadi masalah sampai sekarang. Jadi ahli teknologinya tidak berhasil karena kedua belah pihak tidak saling memahami,” terangnya.
Kedua, pemerintah harus menetapkan jenis dan bidang pekerjaan yang bisa di outsoursing.
Menurutnya, pekerjaan yang bisa dialihdaya harus dijabarkan secara detail agar tidak multitafsir.
“Ini nanti bisa dipergunakan untuk hal-hal yang tidak konstruktif oleh perusahaan-perusahaan,” ujarnya.
Ketiga, durasi perjanjian kerja antar waktu atau PKWT maksimal 5 tahun dengan syarat perjanjian harus ditulis dengan bahasa Indonesia dan huruf latin.
“Karena banyak serikat pekerja atau pengurus serikat pekerja yang tidak terlalu mampu menafsirkan UU secara baik,” ungkapnya.
Keempat, upah harus mengandung komponen hidup layak secara proporsional.
Irma mengatakan, upah minimum sektoral yang kembali diberlakukan untuk memastikan keseimbangan dan keadilan pengupahan diberbagai sektor industri.
“Agar juga tidak menimbulkan kecemburuan sosial satu sama lain. Di satu wilayah yang sama, tapi di industri A dengan industri B ini beda,” katanya.
Kelima, dewan pengupahan harus dihidupkan kembali, untuk menjamin kebijakan upah yang adil.
“Dan juga untuk menghindari keributan yang selama ini terjadi setiap tahun,” ujarnya.
Keenam, perundingan bipartit wajib dilakukan sebelum PHK. Jika tidak dicapai kesepakatan, PHK hanya dapat dilakukan setelah mendapat keputusan dari lembaga perselisihan hubungan industrial yang bersifat final dan mengikat.
“Pesangon wajib. Jadi jangan hanya berupa anjuran, tetapi ditetapkan secara hukum,” tegasnya.
Ketujuh, batas usia kerja. Hal ini agar tidak terjadi buruh anak atau anak dibawah umur. Begitu juga usia sudah tidak produktif bisa dinegosiasikan.
Kedelapan, kesetaraan gender.
Irma memperingatkan hal ini harus hati-hati, karena selama ini perempuan bukan pencari nafkah kelas II.
“Jadi seluruh akses pelayanan perusahaan/majikan, harus sama,” katanya.
Kesembilan, status pekerja kontrak, outsourcing atau JIJ ekonomic.
“Ini juga harus hati-hati. Jam kerja, istirahat, upah, ini harus betul-betul dilihat kembali,” ujarnya.
Kesepuluh, dampak teknologi/robot.
Legislator asal dapil Sumatera Selatan ini mengatakan, RUU ini harus bisa menahan laju teknologi ditengah sulitnya lapangan pekerjaan agar tidak diambilalih oleh tenaga robot.
“Kalau diambil robot sementara lapangan pekerjaan yang sedikit ini yang sudah menyusahkan rakyat Indonesia yang butuh pekerjaan, UU ini artinya tidak berkeadilan,” pungkasnya.
(Bie)