Batam, JURNALBABEL—Salah seorang imam diosesan Pangkalpinang, diam-diam memiliki rekor tertentu, dalam urusan bukan di seputar altar. Rekor ini, tidak lazimnya. Sebab, Sang Romo itu harus meninggalkan zona nyaman di Pastoran, untuk berjibaku memperjuangkan hak dan martabat kaum buruh migran.
Nama Romo Pascal dalam urusan ini, baru terdengar tahun 2013, walaupun selama frater di Pematangsiantar, ia terlibat dalam pendampingan anak-anak jalanan bersama Yayasan Sandi Kelana.
“Sejak tahun 2013, saya masuk lagi ke pelayanan jenis ini di Keuskupan kita,” tuturnya sebelum natal yang lalu, tepatnya, Minggu 23 Desember 2018. “Mulai dari membuat film tentang perdagangan manusia,” ujarnya lagi melalui pesan WhatsApp.
Sejak itu, kemudian secara khusus, Romo Pascal untuk pertama kali terjun langsung untuk menyelamatkan dan menolong 24 korban tindak pidana perdagangan orang, di bulan April tahun 2014.
Mulai dari situ, kata Romo Pascal, ia semakin terpanggil untuk fokus ke pelayanan ini. Ia juga menambahkan, kiprahnya saat ini juga tidak akan bereputasi, jika tidak diawali oleh penugasan mulia yang dipercayakan oleh almahrum Uskup Hila SVD.
“Sejak tahun 2013, juga bertepatan ketika saya diangkat oleh Mgr Hilarius Moa Nurak menjadi ketua Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP), 24 korban langsung mendapat advokasi,” tuturnya.
“Kami advokasi sampai ke pengadilan dan antar kembali ke keluarga masing masing. Ini cikal bakal pelayanan ini,” imbuh Romo yang sedang menyelesaikan studi Hukum di Universitas Putra Batam .
Dalam tuturan lebih lanjut, Romo Pascal mengutarakan, ia bangga karena ambil bagian dalam penderitaan sesama. “Yang berkesan menurut saya adalah kesempatan untuk menjadi bagian dari penderitaan orang lain,” sharingnya.
Di matanya, sesame yang menderita adalah sahabat, walaupun kadang hanya menjadi pendengar. “Entah sebagai sahabat, sebagai teman, sebagai imam maupun yang berdiri bersama korban untuk bersama berjuang mendapatkan keadilan,” akunya.
“Walaupun Kadang, ceritanya, ia hanya bisa menjadi pendengar dan tidak menjadi solusi. Sebab, kata dia, kejahatan sudah terjadi secara masifnya. “Dan kita kadang tidak berdaya melawan mafia,” kenangnya.
Ia merasa bukan siapa-siapa
Dalam obrolan itu, Romo Pascal tidak melebih-lebihkan dirinya sebagai pahlawan bagi kaum migran. Ia menyadari dirinya hanya sebagai lilin kecil saja di tengah kegelapan dunia karena kejahatan.
“Saya merasa bersyukur bisa ambil bagian dalam karya kecil keselamatan ini dan bagi saya,” tuturnya lebih lanjut. Bahkan, secara militant ia menegaskan, Yesus dapat ditemukan dalam penderitaan mereka yang kecil dan mengalami ketidakadilan dan itu yang saya rasakan.
Bagi Romo Pascal, Tuhan yang ia imani lah yang merancang dan memberi kekuatan kepadanya. “Tentu saya bukan siapa siapa dan pekerjaan ini bisa dilakukan siapa saja. Tapi perjumpaan dengan Tuhan menguatkan saya, saya harus selalu ada dan berjuang bersama mereka,” cerita Romo yang pandai berpantun ini.
Melalui pelayanan itu, keuntungan secara rohani, kata dia adalah kebahagian. “Bahagia bisa ambil bagian, bahagia bisa berbagi sedikit berkat dan perhatian. Bahagia bisa berjumpa Tuhan pada mereka yang diperbudak,” tuturnya lagi.
Dan bagi Romo Pascal, perjuangan seperti ini bukan pilihan, tapi keharusan. “Imam yang tidak mau tercebur dan ikut dalam penderitaan masyarakat saya kira dia perlu mempertanyaakan dirinya,” ujarnya.
Pelayanan itu menjadi keharusan baginya, karena ia menemukan kekuatan dalam doa, dukungan dan pengalaman perjumpaan rohani dengan mereka yang menjadi korban.
“Kalau mereka yang menderita saja masih memiliki harapan dan iman yang besar dalam Tuhan seharusnya saya lebih dari mereka,” imbuh Romo yang dilahirkan di Dabo Singkep ini. “Ekaristi harian, doa-doa para sahabat dan keluarga itu kekuatan,” ujarnya lagi.
Atas perjuangan dan pelayanannya itu, Pemerintah Provinsi Kepuluan Riau memberi penghargaan kepadanya, bertepatan dengan Hari Ibu, 22 Desember. Walupun begitu, ia tidak tinggi hati.
Pemerintah, menurutnya, mungkin sudah melihat selama ini perjuangan dan kerja ini dan bertepatan dengan hari ibu memberikannya. “Ini tidak ada namanya, tapi paling tidak ini awal bahwa pemeribtah juga peduli dan menghargai orang yang mau terlibat meperjuangkan keadilan pada masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, pesan penghargaan itu jelas. “Bahwa untuk kemanusiaan kita harus berdiri da berjuang menjaganya,” ungkap Romo Pascal. Dan siapapun yang berjuang, kata dia akan dipandang sebagai pribadi yang mencintai kemanusiaan dan pantas dihargai sebagai motivasi baik pagi penggiat maupun bagi siapapun di Kepulauan Riau ini agar kejahatan diberantas dan keadilan diperjuangkan.
Lantas, bagi siapapun yang ambil bagian dalam pelayanan ini, kata dia, harus membangun jejaring baik secara intern maupun dalam masyarakat bersama lembaga lain yang peduli. “Kekuatan kita sebenarnya pada evaluasi yang terus menerus kita lakukan. Kerjasama dan saling mengoreksi untuk pelayanan yang lebih baik,” ujarnya.
Romo Pascal juga menambahkan, pada langkah pertama, komitmen pada panggilan ini yang kemudian menggerakkannya untuk membagi waktu sebisa mungkin. “Tidak mudah juga sebab kita tidak mengerjakan semua hal, harus ada yang diprioritaskan dan mungkin harus kita tinggalkan,” akunya.
Ternyata ketangguhan Romo Pascal dalam menekuni pelayanan profetis ini, bersumber pada motto tahbisannya. “Motto tahbisan saya mungkin juga kekuatan saya,” katanya. “Aku menganggungkan Tuhan hatiku bersukacita sebab Allah memperhatikan daku hambanya yang hina ini,” pungkasnya. (Stefan)