JAKARTA, JURNALBABEL.COM – Presiden Joko Widodo saat ini sedang mempertimbangkan untuk menggunakan kewenangannya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Pengganti Undang-Undang atau Perppu mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Pasalnya, berbagai kalangan mahasiswa dan aktivis anti korupsi menolak UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah di revisi.
Ahli hukum pidana, Suparji Achmad, berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada kegentingan memaksa bagi Presiden untuk keluarkan Perppu KPK. Pasalnya, tidak ada kondisi yang mendesak dan darurat serta menjadi tradisi yang tidak baik apabila sebuah masalah diselesaikan dengan mengeluarkan Perppu.
“Ini menjadi tradisi yang nggak baik. RUU (UU KPK hasil revisi) baru disahkan kok di Perppu,” kata Suparji Achmad saat di hubungi di Jakarta, Sabtu (28/9/2019) malam.
Pada 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Perppu mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Isi Perppu tersebut mengembalikan Pilkada pilih langsung oleh DPRD menjadi tetap pilih langsung oleh rakyat. Perppu ini dikeluarkan setelah SBY merespon penolakan dari masyarakat atas Pilkada dipilih DPRD.
Hal ini akibat pemerintah dan DPR mengesahkan revisi UU Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah (Pemda) menjadi UU pada September 2014. SBY juga mengeluarkan Perppu soal Pemda berbarengan dengan Perppu Pilkada. “Ya itu (Perppu yang dikeluarkan SBY) referensi yang kurang baik,” ujarnya.
Suparji menilai demo mahasiswa diberbagai daerah bahkan samapai memakan korban jiwa beberapa waktu lalu yang menolak dan meminta agar Presiden Jokowi keluarkan Perppu KPK menjadi dilema. Apabila Jokowi tidak keluarkan Perppu, maka ia dinilai tidak mendengarkan aspirasi publik.
Apabila Jokowi mengeluarkan Perppu, kata Suparji, menjadi tradisi yang tidak baik. Sebab itu, Suparji menyarankan bagi pihak yang menolak point-point dalam UU KPK hasil revisi membawanya atau mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu point menurut Suparji yang perlu di uji materikan ke MK mengenai keberadaan dewan pengawas KPK.
“Dewan pengawas ini yang paling melemahkan KPK,” ungkapnya.
Dalam Pasal 37A ayat 1 draf RUU KPK menyebut dewan pengawas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Sementara Pasal 37A ayat (2) menyatakan dewan pengawas adalah lembaga nonstruktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri.
Keberadaan dewan pengawas diketahui juga ada dalam sejumlah lembaga negara seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai pengawas kepolisian, Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) sebagai pengawas MA, dan Komisi Yudisian (KY) sebagai pengawas hakim dan beberapa lembaga lain.
Tugas dari Dewan Pengawas seperti tercantum pada Pasal 37B RUU KPK ialah memberi izin atau tidak terkait penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan; menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai KPK; menyelenggarakan sidang dugaan pelanggaran kode etik.
Kemudian melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun; menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang tersebut.
Lalu Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala dan disampaikan kepada Presiden serta DPR. Dewan Pengawas terdiri dari lima orang yang dipilih oleh Presiden dengan membentuk panitia seleksi.
Selain mengenai keberadaan dewan pengawas, lanjut Suparji, pasal mengenai teknik penyadapan dalam UU KPK juga perlu di judical review ke MK. Pasalnya, penyadapan adalah dalam rangka mencari tambahan bukti-bukti tindak pidana. “Harus jelas kepada orang-orang yang terkait dengan penyidikan. Sudah tahap penyidikan. Bukan untuk nginteli orang. KPK bukan Badan Intelijen Negara,” tuturnya.
Dalam UU KPK hasil revisi Pasal 12B disebutkan bahwa dalam melaksanakan fungsi penyadapan, KPK wajib meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas. Fungsi penyadapan tidak dapat dilakukan sebelum mendapatkan izin dari Dewan Pengawas. Dewan Pengawas dapat memberikan izin penyadapan dalam waktu 1 x 24 jam.
Pasal 12B ayat (4), diatur mengenai jangka waktu penyadapan selama 6 bulan dan dapat diperpanjang satu kali dalam jangka waktu yang sama.
Ketentuan ini tidak diatur dalam UU KPK.
Pasal 12C ayat (2), penyelidik dan penyidik wajib mempertanggungjawabkan hasil penyadapan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 2 minggu.
Pasal 12D ayat (2) menyatakan bahwa hasil penyadapan yang tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK wajib dimusnahkan seketika.
Kemudian terdapat ketentuan, pihak yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konsultasi dengan DPR
Cara lainnya menyikapi polemik ini, Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini meminta agar Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan DPR untuk konsultasi. Pasalnya, dikeluarkannya Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR. Seperti diketahui pengesahan RUU KPK ini disetujui oleh seluruh fraksi di DPR. Namun fraksi Gerindra, PKS dan Partai Demokrat memberikan beberapa catatan.
Gerindra tidak setuju dewan pengawas dipilih oleh Presiden karena dikhawatirkan terjadi penyalagunaan kekuasaan. Sementara catatan Fraksi PKS menganggap pembentukan dewan pengawas yang disebut menjadi bagian dari KPK menyebabkan dewan pengawas tidak bekerja independen dan kredibel.
Tak hanya soal pemilihan Dewas, PKS juga memberikan catatan tentang keharusan KPK meminta izin melakukan penyadapan ke Dewan Pengawas. Penyadapan adalah senjata KPK mencari bukti dalam mengungkap kasus extraordinary crime. PKS menilai bahwa lebih baik KPK dalam melakukan penyadapan hanya melaporkan kerjanya ke Dewan Pengawas, tanpa perlu meminta izin.
PKS menilai KPK cukup memberitahukan bukan meminta izin ke Dewan Pengawas dan monitoring ketat agar penyadapan tidak melanggar hak asasi manusia.
Fraksi Demokrat sebelumnya juga menyatakan sepakat dengan Revisi UU KPK, tetapi dengan catatan. Fraksi partai berlambang mercy itu memberikan catatan dalam poin Dewan Pengawas KPK (Dewas KPK). Demokrat khawatir ada potensi penyalahgunaan wewenang presiden jika pemilihan Dewas KPK di tangan presiden.
Fraksi Demokrat mengingatkan abuse of power apabila dewan pengawas dipilih presiden. Fraksi demokrat memandang hematnya dewan pengawas ini tidak kewenangan presiden.
“Ya Presiden konsultasi dengan DPR menyikapi dinamika tentang KPK,” pungkasnya.