Jakarta, JurnalBabel.com – Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi sudah resmi tercatat dalam Lembaran Negara sebagai UU Nomor 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK, hari ini, Jumat (18/10/2019).
Sesuai dengan aturan UU No 2/2011, presiden memiliki waktu 30 hari untuk menandatangani UU tersebut. Meski Presiden Jokowi belum tanda tangan RUU usai disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah, RUU tersebut tetap disahkan dan wajib diundangkan.
Padahal penolakan terhadap UU KPK hasil revisi itu makin meruncing. Sebab aturan baru itu dianggap melemahkan lembaga antirasuah itu.
Ada anggapan sejak 17 Oktober ini hingga pelantikan komisioner baru pada 21 Desember, Komisioner KPK saat ini tidak bisa bekerja maksimal. Masalahnya, posisi KPK yang sebelumnya bebas dan independen, dalam UU revisi menjadi bagian lembaga eksekutif kekuasaan. Jika Perppu belum diterbitkan, komisioner KPK sudah tidak berkedudukan sebagai penegak hukum lagi.
Pakar hukum tata negara, Muhammad Rullyandi, berpendapat bahwa dengan berlakunya UU KPK yang baru, ini merupakan suatu ikhtiar bangsa yang harus diapresiasi dalam rangka memperbaiki sistem penegakan hukum tindak pidana korupsi dan penguatan kelembagaan KPK sebagai role model dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut Rullyandi beberapa poin – poin perbaikan didalam UU KPK yang baru merupakan suatu penyempurnaan dalam rangka upaya peningkatan kinerja KPK yang lebih baik kedepan.
“Semoga masyarakat berbagai elemen dan kelompok masyarakan bisa menerima dan mendukung sepenuhnya atas hadirnya suatu UU KPK ini,” kata Rullyandi saat dihubungi di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Dihubungi terpisah, Anggota DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (FNasDem), Hillary Brigita Lasut, menambahkan bahwa tidak ada lembaga superbody yang tidak dapat diawasi dalam negara demokrasi. Ini menurutnya prinsip check and balances.
Selanjutnya bahwa UU KPK menyangkut penyimpangan hak, maka pelaksanaan penyimpangan hak harus dibawas pengawasan.
Anggota DPR termuda periode 2019-2024 ini mencontohkan dengan adanya SP3 merupakan bentuk pengawan dari suatu perkara yang tujuannya demi kepastian hukum. “Bentuk pengawasan itu adalah utk menjamin kepastian hukum,” kata Hillary.
Politisi asal daerah pemilihan Sulawesi Utara ini juga memaparkan alasan pihak yang tidak mendukung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Hillary mengungkapkan bahwa sebenarnya eksekutif (presiden) terlibat dalam pembentukan revisi UU KPK.
Jadi eksekutif menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) agar tidak terjadi sengketa MK dengan eksekutif. “Kalau Perppu berbeda dengan hasil MK, maka timbul sengketa kewenangan lembaga negara, padahal dalam pasal 24C UUD 45, MK yang berwenang menyelesaikan sengketa lembaga,” jelasnya.
Lebih lanjut Hillary meminta jangan gegabah. Apabila dalam UU KPK yang baru ada kekeliruan, bisa diajukan judical review ke MK atau di revisi kembali dan dimasukkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. “Biar dulu disankan dulu. Jangan terprovakasi terlalu cepat. Kami juga siap dikritik dari pengesahan UU KPK ini,” pungkasnya. (Joy)
Editor: Bobby