Saya mulai menonton youtube Ustadz Bangun Samudra ini, beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2016, saat saya menempuh pendidikan S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana, Jakarta. Ketika itu ia belum viral seperti saat ini. Artinya saat itu, sosok Ustadz yang mengaku S3 Vatican ini belum menjadi aktor fenomenal di jagat youtube.
Awalnya, sensasi yang ia panggungkan itu, adalah wajar adanya. Apalagi ketika itu, saya lebih tertarik menonton youtube yang berisi penampilan Ahok di Mata Najwa Metro TV, dari periode 2013-2014. Mau tidak mau, saya harus membaca Retorika Ahok dalam Framing Program Mata Najwa demi kepentingan penyusunan tesis S2 Komunikasi Politik saya.
Di sela-sela keletihan mengolah data tesis, saya kerap mengintip youtube yang berkontenkan dakwah-dakwah Uztad yang satu ini. Karena penasaran aja dengan keberanian Ustadz yang satu ini. Selain itu, menurut saya, retorikanya cukup mempengaruhi khalayak untuk memahami ajaran agama lain.Bahkan, sosok ini boleh dibilang mempunyai kegenitan dalam cara berkomunikasi untuk menelanjangi ajaran iman yang sebelumnya ia akui.
Lantas, dalam asumsi kualitatifku sebagai orang kampung, saya mencoba memposisikan gaya retorika sosok yang satu ini. Saya mengkategorikan mantan Pastor S3 Vatican ini sebagai komunikator yang fenomenal. Sebab, alih-alih ia memamerkan kecerdasan, juga kedalaman pengetahuannya tentang teologi Katolik, ternyata pada saat yang sama, ia sedang menerapkan sebuah gejala baru dalam komunikasi keagamaan. Yakni, ketegangan antara isi pesan dan panggung komunikator.
Pesan versus Panggung
Dalam sub judul tulisan ini, saya tidak membaca benar atau salah isi retorika Sang Ustadz. Sebab, bukan ranah tulisan yang mengacu pada perspektif ilmu komunikasi. Saya lebih menyoroti dimensi ketegangan antara isi pesan dan panggung komunikator.
Isi pesannya berkategorikan ajaran keagamaan Katolik yang dipertentangkan dengan kayakinan agama Sang Mantan Pastor S3 Vatican itu. Hal ini menjadi menarik, karena Sang Ustadz seolah-olah sedang mempertentangkan pesan teologi kedua agama pada sebuah panggung yang menurut saya lebih pas sebagai panggung dramaturgi politik.
Almond dan Powell menyimpulkan bahwa sebuah gaya komunikasi yang merupakan objek kajian ilmu politik ketika interaksi social itu memiliki fungsi agregasi, artikulasi, sosialisasi dan juga rekruitmen.
Ketika membaca gaya gagasan gaya komunikas Sang Ustadz berdakwa seolah-olah sedang melakukan agregasi. Sebab ia memberi input kepentingan untuk membenarkan ajaran teologis kitab suci dalam agama barunya. Hal ini terbaca dalam judul youtube : “Ust. Bangun Samudra (Mantan Pastur) : “Katanya Kitab Suci!Knapa bnyk ayat kontradiktive dalam Injil?”
Melalui teks judul tersebut, terisyaratkan ada artikulasi khusus untuk mempengaruhi terbentuknya opini dan persepsi khalayak terhadap isi Injil seabagai pesan yang kontradiktif. Sekaligus Sang Mantan Pastor ini, mensosialisasikan bahwa begitu banyak kotrakdiksi dalam ajaran injil. Dan dengan sendirinya dia juga sedang menciptakan panggung supaya ia beda dengan Ustadz yang lain. Pasalnya melalui panggung seperti itu, ia menjual ajaran Injil yang sudah ia tidak imani itu demi merekrut Jemaah dan mempengaruhi kelompok jemaah itu untuk mengidolakannya sebagaimana para politisi merekrut massa politik.
Mengacu pada isi pesan retorikanya itu, ia mengkomunikasikan kontradiksi dalam ayat Injil sebagai penanda verbal yang melumpuhkan dan membunuh keseimbangkan dan harmoni dalam kebhinekaan.
Melalui teks judul Youtube itu, Sang Ustadz seolah-olah sedang mentraksaksikan harmoni dan pluralism untuk terjebak, bahkan terhasut dalam pasar ekstremisme. Keseimbangan nilai-nilai primordial keagamaan yang selama ini, berada dalam suatu hubungan yang wajar adanya dan selalu bergerak secara damai, kini, ia persempitkan menjadi dua panggung yang ekstrem. Seolah-olah ada panggung agama yang benar, dan agama yang salah.
Dalam isi retorikanya, secara tidak langsung ia mempertentangkan ajaran iman dua agama itu. Padahal sesungguhnya kedua agama itu sesungguhnya terlahir dari unsur Sang Pencipta, yang secara adikodrati dan metafisis adalah sama. Keduanya mempunyai sisi kebenarannya masing-masing.
Adakah Kebohongan Verbal?
Sejujurnya, hari-hari ini setelah sosok Ustadz ini menjadi viral di medsos, saya begitu galau untuk memastikan apakah ada kebohongan dalam retorika sang mantan pastor itu? Sebab ketika saya menyimpulkan bahwa ia bohong, maka kebohongan itu mempermalukan jabatan fungsional dalam agamanya sebelumnya, dan kebohongannya itu sudah terlalu menonjolkan dirinya sebagai fenomena baru dalam kajian ilmu komunikasi.
Ia seolah sedang mempraktekkan dialektika relasional, sehingga ia seolah-olah antithesis dari para Pastor yang pada jaman kampong global ini masih mempersembahkan hidupnya lewat tiga nasihat Injil, ketaatan, kemiskinan dan kemurnian.
Seandanya para pastor juga ikut berdiskursus soal itu, mereka tentu lebih paham. Tetapi mereka berpikir perdebatan teologis tidak semestinya diterapkan dalam sebuah panggung yang berisi komunikasi politik. Itulah kegalauan saya sebagai seorang Romo yang juga mengerti Ilmu Komunikasi, walaupun hanya seadanya.
Supaya tidak larut dalam kegalauan ilmiah itu, saya mengutip pandangan Buller dan Burgoon tentang konsep kebohongan untuk membaca retorika Ustadz Sang Mantan Pastor. Menurut kedua Ahli Komunikasi ini, kebohongan adalah sebuah pesan yang secara sadar disampaikan oleh si komunikator untuk membantu menciptakan keyakinan atau kesimpulan palsu pada diri penerima.
Buller dan Burgoon menyebut ada tiga strategi kebohongan verbal, yakni falsifikasi, penyembunyian, dan dalih. Falsifikasi, cara berkomunikasi dengan menciptakan khayalan. Sedangkan penyembunyian dilakukan dengan menyembunyikan sebuah rahasia, dan dalih adalah cara berkomunikasi dengan mengelak dan menghindar dari masalah itu.
Sedangkan Granhag dan Stromwall menyebutnya dengan falsifikasi, penyembunyian dan distorsi. Distorsi dalam konteks kedua pakar Komunikasi ini adalah pesan yang tersampaikan itu, berangkat dari kebenaran tetapi telah diubah agar sesuai dengan tujuan sang pembohong, dan terkesan lebay. Contohnya, “seharusnya kuliah di STFT St Giovani selama 5 tahun, tetapi saya menyelesaikannya n dalam 3 tahun. Mohon maaf untuk ketiga kalinya kalau saya itu cerdas.”
Ketika mengacu pada perseptif komunikasi Granhag dan Stromwall tentang kebohongan, saya berani mengatakan bahwa Sang Ustadz ini sedang melakukan strategi distorsi dalam kebohongan verbal. Memang benar bahwa ada STFT St Giovanni, tetapi program akselerasi untuk mahasiswa cerdas tidak dipraktekkan dalam STFT, karena mereka bukan mahasiswa biasa tetapi mahasiswa calon imam sedang dibentuk (formatio) menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga saleh, dan sehat secara fisik dan mental.
Sedangkan ketika mengacu pada perspektif Buller dan Burgoon tentang kebohongan verbal, saya pun menduga Sang Ustadz sedang melakukan strategi falsifikasi dalam kebohongan. Sebab, terbaca secara jelas bahwa Sang Mantan Pastor ini sedang menyampaikan isi khayalannya pada masa lalu kepada khalayak baru yang ia pengaruhi untuk mengidolakan dirinya.
Dengan demikian, saudaraku Mantan Pastor ini sudah melakukan kebohongan publik dengan menggunakan dua strategi. Dua strategi itu adalah strategi distorsi dan falsifikasi. Terimakasih Pak Ustadz, anda telah memprovokasi saya untuk membaca kebohonganmu. Salam harmoni. ***
Stefan Kelen, Pr (ketua Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Pangkalpinang