Jakarta, JurnalBabel.com – Untuk mencegah penyebaran virus Corona (Covid-19), pemerintah telah menyerukan imbauan social distancing bahkan physical distancing. Namun, sayangnya imbauan itu dinilai banyak pihak tidak efektif dalam membatasi mobililtas masyarakat dan menurunkan penyebaran Covid-19, dimana kasus positif Covid-19 semakin meningkat.
Berdasarkan update data Posko terpadu Penanganan ‘Covid-19 di Indonesia per Senin (30/3/2020) pagi, terjadi 1.285 kasus. Rinciannya 1.107 dirawat, 114 meninggal dunia dan 68 pasien sembuh. DKI Jakarta menjadi wilayah yang paling banyak terjangkit virus ini, yakni 675 kasus. Di ikuti Jawa Barat 149, Banten 106 dan Jawa Timur 90 kasus.
Akhirnya, sejumlah pihak mendorong Pemerintah untuk memberlakukan karantina wilayah (local lockdown) karena dianggap menjadi solusi agar penyebaran virus yang belum ditemukan vaksinnya ini tidak semakin meluas.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah mengajukan surat untuk minta izin ke pemerintah pusat untuk mengadakan karantina di wilayahnya. Namun, Pemerintah baru akan mengadakan rapat pada Selasa (31/2/2020) untuk membahas Peraturan Pemerintah (PP) tentang Karantina wilayah sebagai pegangan pemerintah daerah atau pemda untuk melaksanakan Karantina Wilayah.
Ditimbul pertanyaan, apakah kebijakan karantina wilayah yang diatur dalam Pasal 53-55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan ini berdampak positif/menguntungkan atau justru sebaliknya, Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Achmad dan Anggota Komisi IX DPR dari daerah pemilihan DKI Jakarta I (Jakarta Timur), Kurniasih Mufidayati, akan menjawabnya.
Suparji Achmad menyatakan kebijakan karantina wilayah menjadi kewenangan pemerintah pusat. Namun sebelum menerapkan kebijakan itu, lanjutnya, pemerintah menyiapkan kebutuhan pokok masyarakat dan makanan binatang ternak seperti yang diatur dalam Pasal 55 UU Kekarantinaan Kesehatan.
“Ya harus ada simulasi bahwa itu dapat menyelesaikan masalah, bukan nambah masalah baru,” kata Suparji Achmad saat dihubungi di Jakarta, Senin (30/3/2020).
Menurut Suparji, sampai saat ini tidak ada solusi yang paling jitu untuk mencegah Covid-19. Meskipun pemerintah sudah menyatakan bahwa social distancing dan physical distancing sebagai cara ampuh.
Begitu juga dengan Karantina Wilayah. Suparji belum melihat adanya gambaran Covid-19 bisa diselesaikan dengan menerapkan kebijakan itu. Justru katanya hal ini merugikan, terutama dari sisi perekonomian. Mulai dari nilai tukar rupiah kian melemah, kebutuhan pokok terbatas dan lainnya.
“Yang terbayang masalah baru. Ekonomi mandeg, akan semakin sulit kehidupan,” ujarnya.
Solusi terbaik menghadapi Covid-19 menurut Suparji adalah pemerintah segera mungkin mengobati masyarakat yang positif virus yang belum ditemukan vaksinnya ini. Selain itu pemerintah juga harus melokalisir pasien dalam pengawasan atau PDP.
Senada dengan Suparji, Kurniasih Mufidayati mengatakan ada tahapan yang perlu dilakukan pemerintah sebelum menerapkan karantina wilayah. Utamanya di DKI Jakarta agar masyarakat tidak kaget atas kebijakan itu. Misalnya, diawali dengan penutupan terbatas untuk pintu keluar masuk Jakarta. Yang diperbolehkan hanya yang membawa bahan kebutuhan pokok.
“Prinsipnya pemerintah harus melakukan tahapan-tahapan karantina wilayah yang humanis,” ujar Kurniasih saat dihubungi terpisah.
Disatu sisi, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini tidak sependapat dengan Suparji yang menilai karantina wilayah ini merugikan dan menimbulkan masalah baru. “Kalau melibatkan semua komponen warga dan bangsa, insya Allah bisa berjalan dengan resiko lebih minimal,” katanya.
Kurniasih juga berharap dalam 2 atau 3 hari ke depan, pemerintah dapat segera mengeluarkan PP Tentang Karantina Wilayah. “Kalau harus ada PP maka kami berharap bisa diselesaikan 2-3 hari ini,
Sehingga bisa segera menjadi payung hukum pelaksana di lapangan,” harapnya mengakhiri. (Bie)
Editor: Bobby