Jakarta, JurnalBabel.com – DPR sudah sepakat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja Omnibus Law tetap dibahas bersama pemerintah meski saat ini virus corona atau Covid-19 mewabah di tanah air. RUU inisiatif pemerintah ini juga sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2020 yang draft dan naskah akademiknya sudah di serahkan pemerintah ke DPR.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi pun berharap banyak agar DPR segera mengesahkan RUU ini menjadi UU. Pasalnya, RUU ini dapat memangkas berbagai peraturan perundang-undangan yang menghambat investasi. Bahkan Jokowi mengapresiasi dan mengangkat dua jempol kepada DPR apabila bisa menyelesaikannya dalam 100 hari.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Gerindra Elnino M Husein Mohi menjelaskan RUU Omnibus Law adalah jenis RUU yang bersifat menyederhanakan regulasi dengan cara merevisi dan mencabut banyak UU sekaligus. Sederhananya, RUU sapujagat.
Dalam RUU Cipta Kerja ini memang hanya ada 175 pasal, namun kata Elnino secara subtansi RUU ini memuat perubahan, penghapusan dan pembatalan atas 79 Undang-Undang (UU) yang terkait dengan pembangunan dan investasi.
Lebih lanjut legislator dari daerah pemilihan Gorontalo ini mengungkapkan RUU ini mencakup banyak isu penting dan strategis. Misalnya lingkungan hidup, otonomi daerah, ketenagakerjaan, penyederhanaan prosedur investasi dan lainnya.
“Meski tujuannya fokus untuk merampingkan regulasi bagi penciptaan kerja, tapi jangan sampai ‘short-cut’-nya salah. Alih-alih menyederhanakan, RUU ini malah bikin ribet. Dimaksudkan untuk menghapus over-lapping dan over-regulated, malah justru sebaliknya,” kata Elnino dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/4/2020).
Tercatat RUU Cipta Kerja ini mensyaratkan 500-an aturan turunan (Peraturan Pemerintah) yang justru berpotensi melahirkan regulasi yang sangat banyak.
Menurut Elnino, RUU Cipta Kerja ini harus dikaji betul. Maksud penciptaan iklim investasi yang kondusif, jangan sampai justru mengabaikan perlidungan terhadap tenaga kerja, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan kepemilikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, serta kepemilikan negara terhadap bumi, dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945).
“Untuk itu pembahasan RUU Cipta Kerja ini tak boleh dilakukan lewat ‘sistem kebut semalam’: 3 bulan; 4 bulan; 5 bulan dll. Kalau harus 5 tahun, why not? Yang penting hasilnya semaksimal mungkin, lewat kajian yang komprehensif, melibatkan partisipasi yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, dan memenuhi seluruh aspek formal pembentukan UU yang telah diatur UU 12/2011 dan perubahannya,” paparnya.
Anggota DPR dua periode ini mengaku pernah terlibat dalam perancangan Draft RUU Penyiaran dari awal 2015 hingga september 2019. Hanya sekitar 160 pasal sederhana, tapi akhirnya Draft RUU tersebut gagal diundangkan, bahkan gagal jadi RUU hingga masa jabatan saat itu habis.
Kenapa bisa lama begitu? Elnino mengatakan karena proses akademiknya lama dengan melibatkan banyak orang. Juga proses politiknya lama, karena melibatkan banyak fraksi di DPR yang berbeda perspektif satu dengan yg lain. Padahal saat itu semua orang sepakat agar UU Penyiaran Tahun 2002 harus segera diganti dengan UU baru karena perkembangan teknologi informasi dan penyiaran.
“Sepakat untuk segera mengundangkan, tapi akhirnya tidak ketemu titik kesepakatannya. Apalagi RUU Omnibus Law yang tebalnya luar biasa ini. Belum pula kondisi sekarang ini yang WFH, tentu agak menghambat jalannya perdebatan dan diskusi yang baik untuk penyempurnaan RUU,” ungkap mantan jurnalis ini.
Mantan anggota DPD RI dari Gorontalo ini menegaskan apabila ingin RUU ini benar-benar pro rakyat, pro negara, dan pro masa depan bangsa, maka butuh waktu yang cukup untuk DPR membahasnya secara akademik dan secara politik. (Bie)
Editor: Bobby