Jakarta, JurnalBabel.com – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Prepres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Presiden Jokowi pada 5 Mei lalu dinilai perbuatan melawan hukum dan konstitusi.
Perpres ini memutuskan iuran peserta PBPU dan peserta BP kelas I sebesar Rp 150.000; kelas II sebesar Rp 100.000 yang berlaku per 1 Juli 2020 dan kelas III sebesar Rp 42.000 yang berlaku mulai 2021. Angka ini lebih rendah dari Perpres 75/2019 yang sebesar Rp 160.000 kelas I, kelas II sebesar Rp 110.000, dan Rp. 51.000 kelas III.
Padahal pada akhir Desember 3019, iuran BPJS dinaikkan melalui Perpres Nomor 75 tahun 2019. Namun, per 1 April dibatalkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7P/HUM/2020.
Anggota Komisi IX DPR, Lucy Kurniasari, mengatakan menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan tidak sejalan dengan Putusan MA tersebut. “Seharusnya Pemerintah melaksanakan Putusan MA dengan taat azas. Kalau seperti ini kan sama Pemerintah bermain-main dengan Putusan MA,” kata Lucy Kurniasari dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/5/2020).
Politisi Partai Demokrat ini khawatir kalau Pemerintah memberi contoh tidak taat azas pada hukum, akan diikuti oleh rakyat. Kalau hal ini terjadi, akan berbahaya bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebab itu, ia meminta Presiden menganulir Perpres No. 64 Tahun 2020.
“Selanjutnya saya meminta Presiden melaksanakan Putusan MA secara sungguh-sungguh, agar rakyat dapat menyontoh pimpinanya dalam melaksanakan hukum,” ujar legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur I ini.
Pakar Hukum dari Universitas Bung Karno (UBK) Azmi Syahputra menambahkan, naiknya kembali iuran BPJS Kesehatan melukai rasa keadilan masyarakat serta Presiden tidak patuh, wujud pembangkangan hukum, dan melanggar konstitusi.
“Karena kedudukan dan fungsi MA diberi wewenang oleh UUD untuk menguji peraturan dibawah undang-undang dan jika tidak dilaksanakan sama artinya dengan melanggar UUD,” kata Azmi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/5/2020).
Azmi mengatakan, keberadaan peraturan tersebut juga seperti bertolakbelakang dengan kondisi masyarakat yang tengah berjuang melawan wabah Covid-19 saat ini.
“Terasa agak aneh keberadaan Peraturan Presiden ini seolah abai dengan rasa keadilan sosial dan tidak mempertimbangkan situasi yang dirasakan masyarakat pada umumnya,” tegasnya.
Menurut Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) ini, kebijakan tersebut akan menyulitkan masyarakat yang tengah dalam situasi dan kondisi serba sulit seperti saat ini.
“Akan banyak dampak akibat kenaikan ini serta banyak menimbulkan potensi keresahan termasuk kesulitan membayar iuran, mengingat kondisi Covid-19 yang jadi pandemi saat ini,” ungkapnya.
Azmi mengaku tak habis pikir dimana kebijakan tersebut dibuat seolah dalam hitungan hari pasca putusan yudicial review Mahkamah Agung dibuat lagi regulasi setingkat Peraturan Presiden (Peraturan Presiden) guna kenaikan tarif BPJS Kesehatan. Padahal hak atas kesehatan dijamin dalam UUD 1945 dan menjadi tanggung jawab pemerintah, tegasnya.
“Jelas-jelas diketahui kenaikan tarif BPJS telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA Nomor 7P/HUM/2020 pada 27 Februari 2020, sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara semestinya wajib tunduk pada putusan tersebut, menghormati lembaga peradilan sebagai wujud adanya kepastian hukum,” tandas Azmi.
Sebagaimana diketahui, ungkap Azmi, dalam putusan MA, menyatakan kenaikan tarif iuran BPJS sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 bertentangan dengan sejumlah ketentuan di atasnya, antara lain UUD 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Artinya berpijak pada pertimbangan hukum dan putusan Mahkamah Agung kebijakan mensahkan Peraturan Pesiden terkait menaikkan kembali tarif nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, meskipun demikian masyarakat atau lembaga terkait yang mewakilinya dapat menggugat kembali atas Peraturan Presiden ini,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby