Jakarta, JURNALBABEL – Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu mengatakan, kedepankan asas praduga tak bersalah dalam persoalan hukum yang belum berkekuatan hukum tetap atau belum inkrah.
“Kedepankan prinsip asas praduga tak bersalah dalam persoalan hukum yang belum inkrah,” ujar Masinton kepada wartawan di Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Sebelumnya pengusaha Kimin Tanoto merasa nama baiknya dicemarkan, oleh berbagai pemberitaan sepihak yang menyudutkannya. Sehingga secara resmi dia menyampaikan bantahan.
“Menanggapi pemberitaan salat satu media online Tanggal 13 Juli 2020 yang berjudul “Advokat Desak Polisi Tangkap Terduga Pemalsu SNI Kimin Tanoto” dengan ini kami menyampaikan keberatan dan sanggahan atas pemberitaan tersebut,” ujar Harmaein Lubis, selaku kuasa hukum Kimin Tanoto.
Dijelaskannya, dia sudah menyampaikan sikap keberatan terhadap pemberitaan yang dipublikasi oleh salat satu media itu dengan judul sebagaimana tersebut di atas, karena melakukan pemublikasian berita yang diduga dilakukan dengan cara sepihak, tanpa melakukan verifikasi serta permintaan klarifikasi terlebih dahulu (Check & Recheck).
“Semestinya, dalam menyampaikan informasi maupun pemberitaan, media itu sebagai portal berita online, wajib menjunjung tinggi nilai-nilai maupun kode etik jurnalistik dengan baik, khususnya mengenai asas pemberitaan yang independen, komprehensif dan proporsional, dimana asas-asas tersebut menekankan pada prinsip penyajian berita secara berimbang, luas dan lengkap, tanpa adanya kepentingan pribadi serta intervensi dari pihak manapun, dimana untuk itu saya sangat menyoroti beberapa redaksi yang saya anggap cukup provokatif dan tendensius,” kata Harmaein.
Lanjutnya, hal tersebut sangat mengganggu dan mencederai harkat dan martabat klien saya, selaku Warga Negara Indonesia yang harta dan martabatnya dilindungi secara konstitusional. “Beberapa redaksional yang saya anggap provokatif dan tendensius diantaranya berjudul Advokat Desak Polisi Tangkap Terduga Pemalsu SNI Kimin Tanoto,” ujarnya.
Asas Praduga Tak Bersalah
Terhadap penyebutan nama secara lengkap dalam judul tersebut di atas, menurut Harmaein Lubis sangatlah emosional, tendensius dan melanggar hak privasi kliennya.
“Sehingga klien saya merasa dihakimi secara tidak langsung oleh pemberitaan yang ada, yang mana seharusnya media dalam menyajikan pemberitaan memperhatikan prinsip praduga tidak bersalah, yang karenanya menghindari penyebutan nama secara lengkap,” tuturnya.
Kemudian, soal Redaksi : Polisi masih mencari Kimin, namun anak buahnya, L dan A telah ditahan dan menjadi tersangka (Vidio – paragraf kedua), menurut Harmaein
Redaksi tersebut sangat amat menyakiti hati klien saya, karena berisikan redaksional dan opini yang menghakimi dan bersifat provokatif.
“Klien saya tidak pernah hilang dan melarikan diri, namun begitu mengapa redaksi yang ada menyebut polisi masih mencari Kimin? Kalimat tersebut berpotensi dan dapat ditafsirkan seolah-olah klien saya telah melarikan diri dan melakukan tindakan yang bersifat tidak kooperatif, padahal faktanya klien saya tidak pernah melarikan diri dan tidak pernah mengabaikan panggilan dari pihak yang berwajib, bahkan terhadap panggilan pertama dari pihak kepolisian Saya baru di jadwalkan untuk menjalani pemeriksaan pada tanggal 14 Juli 2020,” ulasnya.
Harmaein menyebutkan, sebagaimana Surat Panggilan nomor : S.pgl/4688/VII/2020/Ditreskrimum, sehingga redaksi tersebut sangat tendensius, serta mengabaikan kewajiban dari salah satu media itu untuk melakukan Check and Recheck terlebih dahulu terkait kebenaran informasi sebelum melakukan pemberitaan.
“Redaksi juga menyebutkan soal, Ia menunding praktik curang tersebut sudah dilakukan Simon Tonoto selama kurang lebih 3 tahun dan mengakibatkan potensi kerugian negara mencapai Rp 2,7 triliun (Vidio-paragraf ketiga). Redaksi yang disampaikan tersebut bersifat opini yang menghakimi dan merupakan fitnah yang sadis, dimana tidak seharusnya sebuah opini tanpa dasar dan alasan yang jelas, di muat dalam pemberitaan yang kemudian dipublikasikan secara luas, dimana seharusnya salah satu media itu dalam menyajikan berita seyogyanya menggunakan hati nurani,” paparnya.
Sehingga lanjut Harmaein, tentu dapat menjiwai apa yang dirasakan oleh orang yang menjadi objek pemberitaan, terlebih terhadap informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dari sana Saya mempertanyakan dasar pernyataan dan pencantuman nilai kerugian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut, bahwa hal tersebut merupakan informasi fitnah yang seharusnya tidak dipublikasikan oleh media itu
Selain itu soal Redaksi : Dari penangkapan L dan A, anak buah Kimin, polisi menyita 4.600 ton besi siku impor yang ditempeli stiker SNI palsu berlogo Gunung Garuda (Vidio- paragraf keempat), menurut Harmaein, Redaksi yang disampaikan tersebut secara terang benderang telah melanggar asas presumption of innocence/asas praduga tidak bersalah, dimana pada faktanya tidak ada suatu putusan pengadilan manapun yang bersifat inkracht pada besi siku tersebut adalah palsu, sehingga seharusnya TEMPO.CO dalam melakukan pemberitaan harus lebih memperhatikan prinsip-prinsip serta kode etik jurnalistik;
“Bahwa berdasarkan beberapa alasan dan sanggahan yang telah saya sampaikan tersebut, maka dengan surat ini pula saya meminta kepada Pihak media itu untuk melakukan hal-hal, yakni agar mencabut dan/atau meralat, serta memperbaiki berita yang berjudul “Advokat Desak Polisi Tangkap Terduga Pemalsu SNI Kimin Tanoto” tersebut sebagaimana alasan dan bantahan yang telah saya uraikan tersebut, di atas dalam kurun waktu 1 x 24 jam sejak tanggal penayangan dan/atau pemberitaan,” ungkapnya.
“Menyampaikan permintaan maaf serta mengakui kesalahan atas pemberitaannya tersebut kepada para pembaca dan/atau pendengar dan/atau pemirsa secara online 1 x 24 jam sejak tanggal penayangan dan/atau pemberitaan,” tambah Harmaein. (Joy)
Editor: Bobby