Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah meminta sertifikasi pekerja musik harus bersifat sukarela bukan menjadi suatu kewajiban dimiliki.
Ia lebih sepakat penerbitan sertifikasi tersebut lebih kepada perlindungan musisi dan pendukung pertunjukan musik dalam pertunjukan internasional.
Pasalnya, sebut Ledia, selama ini baik musisi maupun penata sound engineer, tata lampu (lighting) dibayarnya rata-rata 1/3 dari honor yang didapat musisi internasional bersertifikat.
Seharusnya dalam konteks seni musik tradisional kita yang menetapkan standarnya. Orang asing yang harus mengikuti.
“Tetapi pengaturan sertifikasi ini seharusnya sifatnya voluntary untuk perlindungan. Bukan mewajibkan semua pekerja seni musik harus memiliki sertifikasi,” kata Ledia saat dihubungi, Minggu (16/8/2020).
Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) di DPR ini juga mempertanyakan apakah kompetensi kerja seni musik ini sudah dibincang juga dengan Baparekraf yang menaungi seniman serta Dirjen Kebudayaan yang menaungi seniman tradisional.
Menurutnya ini perlu ada penjelasan apa yang disertifikasi.
“Yang perlu disertifikasi lebih awal terutama yang berkaitan dengan kerja-kerja seni panggung selain seni musik. Bukan hanya sertifikasi untuk musisi pemegang alat musik, tetapi juga penata sound engineer, penata sound effect, penata lighting dan lainnya,” ujarnya.
Lebih lanjut dia juga meminta sertifikasinya harus bertujuan agar pemegangnya bisa diakui dan berkompetisi dengan pelaku seni asing. Begitu juga, Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Musiknya juga harus diakui oleh pekerja seni yang bersangkutan. Sebab, musik adalah 1 dari 16 sektor ekonomi kreatif.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini menambahkan berdasarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di Bidang Seni Musik dan skema sertifikasi, LSP yang akan mengeluarkan sertifikasinya.
Hanya yang menjadi pertanyaan ini sudah didiskusikan sama Baparekreaf belum karena rangenya kompetensi seni musik sangat luas.
Menurut Ledia, semestinya dijelaskan road mapnya sepertu keterampilan apa yang akan disertifikasi terlebih dahulu, dengan alasan apa, bagaimana pentahapannya dan sebagainya.
Selanjutnya LSP juga harus dibuka lebih dari satu sehingga tidak ada bottle neck dan di kenali oleh para seniman musiknya sebagai LSP yang benar patut.
Dan yang lebih penting lagi harus ada penjelasan kepada para seniman musik tersebut apa yang dimaksud dengan sertifikasi, mengapa diperlukan dan konsekuensinya.
Tidak ketinggalan harus disampaikan bahwa bukan berarti yang tidak bersertifikasi tidak boleh berkreasi maupun tampil dalam pertunjukan.
“Ini konteksnya harus mengarah pada perlindungan terhadap musisi kita dalam konteks pertunjukan internasional,” tegas legislator asal Jawa Barat ini.
Sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah meluncurkan SKKNI di Bidang Seni Musik dan skema sertifikasi di Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Jumat (14/8/2020).
Dalam rilis resmi di situs Kemnaker, SKKNI ini diluncurkan “selain sebagai salah satu tolok ukur penyiapan SDM berdaya saing, juga sebagai salah satu upaya meningkatkan mutu permusikan Indonesia.”
Ia berharap SKKNI ini dapat diimplementasikan baik di lembaga pendidikan dan pelatihan, dalam pelaksanaan sertifikasi kompetensi bidang permusikan, dan pengembangan SDM di bidang permusikan.
Oleh karena itu SKKNI ini juga diserahkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Pada kesempatan ini juga akan diserahkan penambahan ruang lingkup skema sertifikasi kepada LSP Musik,” ujarnya.
Ia juga berharap setelah ini tercipta ekosistem industri musik yang kondusif yang pada akhirnya dapat menciptakan seniman musik yang kreatif.
“Sehingga dapat melahirkan sumber ekonomi yang baru sekaligus kesempatan kerja.”
Ia mengatakan meski saat ini industri musik terpukul oleh pandemi, pemerintah cukup optimistis pemulihannya dapat segera dilakukan.
(Bie)