Jakarta, JurnalBabel.com – Ahli hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad menghormati sikap yang diambil oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait tragedi Semanggi I dan II.
Kasus tersebut digugat oleh keluarga korban Semanggi I dan II
ke PTUN Jakarta pada Selasa (12/5/2020), salah satunya Maria Katarina Sumarsih, ibu Norma Irmawan, korban penembakan Tragedi Semanggi, 13 November 1998.
PTUN Jakarta menyatakan pernyataan Jaksa Agung dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR pada Januari 2020 bahwa peristiwa berdarah di masa reformasi tahun 1998 itu bukan pelanggaran HAM berat melanggar hukum. Sementara Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai pernyataan Jaksa Agung tersebut bukan objek gugatan PTUN.
“Banding tersebut merupakan hak bagi Jaksa Agung yang keberatan atas putusan PTUN Jakarta. Nanti hakim banding PTUN yang memutus, adakah kesalahan di PTUN Jakarta,” kata Suparji Achmad saat dihubungi, Senin (9/11/2020).
Suparji belum dapat memberikan penilaian apakah kasus tragedi Semanggi I dan II itu pelanggaran HAM berat. Dalam menentukan itu, ada proses dan mekanisme di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan HAM.
Melihat kecenderungan selama ini dan prospek Pengadilan HAM yang sulit terbentuk, maka Suparji pesimis untuk jadi pelanggaran HAM berat. Pasalnya, kasus tersebut sudah lama sehingga sulit terungkap.
“Perkara yang sudah berlarut-larut dan sulitnya mengungkap perkara tersebut,” ungkapnya.
Suparji juga menyarankan seharusnya Komnas HAM dan Kejagung menghentikan penyelidikan dan penyidikan kasus tragedi Semanggi. Sebab, tegas dia, lagi-lagi kasus itu sudah berlarut-larut sehingga sulit terungkap. Mulai dari para saksi-saksi yang sudah tiada maupun barang bukti yang sudah hilang.
“Ya tutup buku sudah tidak perlu diungkap lagi. Sulit mengungkapnya,” tegasnya. (Bie)