Jakarta, JurnalBabel.com – Kondisi anggaran dan belanja negara (APBN) saat ini cukup berat. Berdasarkan keterangan Kementerian Keuangan, defisit APBN 2021 direncanakan sebesar Rp1.006,4 triliun dengan diprakiraan rasio sebesar 5,70% terhadap PDB. Sedang keseimbangan primer ditargetkan sebesar minus Rp633,1 triliun yang memperbesar ketergantungan pada utang baru untuk bisa membayar bunga utang lama.
Kondisi APBN yang berat diperkirakan masih akan berlangsung hingga beberapa tahun ke depan. Hal itu tentu sulit untuk menjadikan APBN sebagai tumpuan pembiayaan pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Anggota Panitia Kerja (Panja) BUMN Energi DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak mendorong pemerintah untuk melakukan dua hal strategis. Pertama, bersama DPR pemerintah mepercepat lahirnya undang-undang yang memberikan kepastian hukum bagi pihak swasta ataupun lembaga internasional yang ingin berinvestasi di sektor energi terbarukan.
“RUU EBT yang saat ini masuk dalam prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2021 harus memapu menjawab kebutuhan investor agar mereka nyaman berinvestasi di sektor energi terbarukan,” kata Amin Ak dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/12/2020).
Lebih lanjut Amin yang juga menjadi Anggota Badan Legislasi DPR RI itu mengatakan, banyak pilihan skema pendanaan pengembangan EBT jika aturan main, baik UU maupun produk hukum turunannya, mampu memberikan kepastian hukum dan iklim usaha yang dibutuhkan investor.
“Harus ada keberpihakan yang jelas melalui berbagai kebijakan pemerintah jika ingin target pengembangan EBT lebih cepat terealisasikan,” ungkapnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada tahun 2025 peran EBT dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 23% dan diharapkan terus meningkat menjadi 31% pada tahun 2050. Menurut Amin, waktu 30 tahun terbilang sebentar, untuk bisa merealisasikan target tersebut.
Amin mengungkapkan, Uni Eropa saat ini memiliki dana sebesar 350 juta Euro untuk pengembangan EBT di Indonesia, namun mereka membutuhkan komitmen dan konsistensi kebijakan pemerintah untuk merealisasikan pengembangan EBT. Pemerintah juga bisa memanfaatkan dana perdagangan karbon yang dimiliki lembaga donor internasional maupun perusahaan nasional dan multinasional.
“Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 yang meratifikasi Paris Agreement, dimana pada tahun 2030, Indonesia menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% (jika dilakukan dengan kemampuan sendiri) dan 41% dengan bantuan Internasional,” jelasnya.
Inovasi Co-Firing
Strategi kedua yang bisa dilakukan saat ini, menentukan prioritas pemilihan jenis energi terbarukan agar tidak memberatkan APBN. Amin menyontohkan, penggunaan biomassa untuk mensubstitusi penggunaan batu bara pada seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN.
“Sudah ada inovasi dan teknologi yang mampu menyulap energi biomasa yang dihasilkan dari limbah industri pengolahan kayu seperti pellet kayu, serpihan kayu maupun serbuk gergajian menjadi bahan bakar substitusi batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU),” ungkap Amin.
Anggota Komisi VI DPR ini menyontohkan langkah Perum Perhutani, yang sudah menguji coba teknologi co-firing, yaitu menggabungkan pasokan batubara dan sumber daya biomasa, untuk PLTU di Paiton, Jawa Timur, serta PLTU Cikarang Listrindo dan PLTU Palabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.
“Ini kan bisa menjadi bagian dari restrukturisasi BUMN Perkebunan yang sedang dijalankan pemerintah. Terobosan tersebut, bukan hanya mengurangi beban APBN bahkan bisa menjadi sumber pendapatan bagi BUMN perkebunan, sekaligus mengurangi emisi GRK,” bebernya.
Pemanfataan co-firing juga bisa diperluas pada pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) milik PT PLN terutama di Indonesia Timur, sehingga secara bertahap mengganti penggunaan bahan bakar minyak solar. Dengan mengganti minyak solar dengan energi biomasa maka Indonesia bisa menghemat devisa dari impor solar yang setiap tahun nilainya meningkat.
“Berdasarkan data Kementerian ESDM, pemanfaatan co-firing biomassa pada pembangkit listrik tenaga batu bara itu mampu menambah bauran energi terbarukan hingga 3 persen pada tahun 2025,” kata Amin.
Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian ESDM, saat ini ada 114 unit PLTU milik PT PLN yang tersebar di 52 lokasi dengan total kapasitas 18.154 megawatt. Penggunaan co-firing biomassa dengan campuran biomassa sebesar 1 persen saja, itu berpotensi meningkatkan bauran EBT sebesar 0,18 persen.
Jika penambahan biomassa dilakukan sebesar 3 persen atau 5 persen, potensi peningkatan bauran EBT bisa mencapai 0,54 persen hingga 0,9 persen. Bila komposisi campuran biomassa mencapai 10 persen, peningkatan baurannya bisa mencapai 1,79 persen.
“Dengan keberpihakan dan kebijakan yang tegas, ada banyak jalan meningkatkan bauran energi tanpa memberatkan APBN saat ini yang sedang tidak sehat,” pungkas legislator asal Jawa Timur ini. (Bie)