Jakarta, JurnalBabel.com – Pemberhentian Arief Budiman sebagai Ketua KPU RI oleh DKPP belum lama ini, menjadi sorotan beberapa anggota komisi II DPR dalam rapat kerja Komisi II dengan Mendagri, KPU, Bawaslu, DKPP, terkait Evaluasi Pilkada Serentak 2020 di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Keputusan pemberhentian Arief Budiman tersebut diambil DKPP dalam sidang etik putusan perkara dengan nomor 123-PKE-DKPP/X/2020, akibat pelanggaran kode etik mendampingi Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik menggungat pemberhentiannya sebagai Komisioner KPU ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) pada Maret 2020.
Salah satu anggota komisi II DPR yang menyoroti hal itu yakni Zulfikar Arse Sadikin. Ia mengakui dalam Pasal 458 ayat 13 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur putusan DKPP itu final dan mengikat. Namun pemaknaan pasal tersebut harus kembali kepada putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa DKPP bukan lembaga peradilan.
“Sehingga putusannya tidak final dan putusan mengikatnya itu pada presiden dan penyelenggara. Bukan mengikat pada lembaga peradilan,” kata Zulfikar secara virtual.
Ia menyontohkan pemecatan Komisioner KPU Evi Novida Ginting oleh DKPP pada 18 Maret 2020, lantaran Evi dinilai melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu terkait kasus perolehan suara calon legislatif (caleg) Pemilu 2019. Lalu Presiden Jokowi menerbitkan keputusan presiden (Keppres) Nomor 34/P/2020 tentang pemberhentian Evi Novida sebagai Komisioner KPU RI pada 23 Maret 2020.
Pada 19 April 2020, Evi pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas kasus pemecatan dirinya sebagai Komisioner KPU RI. Pada 24 Juli 2020, PTUN memutuskan mengabulkan seluruh gugatan yang dimohonkan Evi Novida melalui putusan Nomor 82/G/PTUN.JKT.
PTUN pun memerintahkan Presiden Jokowi untuk mencabut Keppres pemecatan Evi. Jokowi tak memutuskan banding. Pada 11 Agustus 2020, Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 83/P Tahun 2020 untuk mencabut Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 tentang pemecatan Evi Novida.
Dengan adanya Keppres tersebut, KPU pun mengaktifkan kembali Evi Novida sebagai Komisioner KPU RI per Senin (24/8/2020).
“Tapi kenapa DKPP termasuk anggota-anggotanya itu di dalam rapat-rapat resmi mereka selalu bilang anggota KPU hanya 6, tidak 7 lagi,” ujarnya mempertanyakan.
“Jadi siapa yang sebenarnya tidak menghormati hukum itu? DKPP atau KPU? Saya tanya ke DKPP, putusan Presiden itu bisa digugat atau tidak? Pak Junimar (anggota komisi II DPR FPDIP) yang ahli hukum bilang bisa. Sebenarnya yang tidak etis itu siapa? Menyatakan kemana-mana, anggota KPU itu hanya 6,” tambahnya dengan nada geram.
Politisi Partai Golkar ini membeberkan latar belakang beberapa anggota DKPP.
“Kalau saya mau bilang lagi sebenarnya. Saya mau tarik ke belakang rekam jejak Prof Muhammad (Ketua DKPP-red). Siapa itu sebenarnya bisa masuk DKPP? Termasuk ibu Ida Budiarti, termasuk DKPP itu. Kalau tidak karena kebaikan dan kebijakan anggota DPR waktu itu, tidak bisa masuk itu. Tidak etis saudara-saudara itu jadi anggota DKPP. Bahkan tidak lolos dalam seleksi,” ungkapnya dengan nada tinggi.
Legislator asal Jawa Timur ini pun mengusulkan tiga anggota DKPP diganti dengan mekanisme pergantian antar waktu (PAW) seperti yang diatur dalam Pasal 156 ayat 4 UU Pemilu.
“Di media saya bilang ambil tindakan. Kalau perlu komisi II gunakan Pasal 156 ayat 4 UU 7/2017 setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat diganti antar waktu. Kalau memang Panja Komisi II menyetujui, ganti saja orang dari unsur DPR itu. Termasuk Alfitra Salam tidak mengakui anggota KPU 7 orang,” katanya.
Untuk KPU, Zulfikar meminta jalankan saja putusan DKPP tersebut dengan langsung menetapan Ketua KPU RI definitif. Bukan seperti saat ini menunjuk anggota KPU Ilham Saputra sebagai Plt Ketua KPU RI.
“KPU hormati (putusan DKPP berhentikan Aried Budiman-red). Kita yang menindak (PAW-red). Tidak perlu buat pergerakan. Gelar rapat pleno, tetepkan saja langsung Ketua KPU RI,” pungkasnya.
Jawab Tertulis
Menanggapi pernyataan Zulfikar tersebut, Ketua DKPP Muhammad memohon maaf tidak bisa mengomentarinya. Pasalnya, kata dia, dalam Peraturan DKPP Nomor 4 Tahun 2017 tentang kode etik DKPP diatur untuk tidak mengomentari, tidak membahas lagi putusan yang sudah ditetapkan dan dibacakan kepada publik.
“Ini ada kode etiknya, biar publik yang menilai atau gunakan cara-cara hukum lain,” kata Muhammad.
Meski demikian, mantan Ketua Bawaslu RI ini mengatakan pihaknya akan menjawab secara tertulis kepada Komisi II DPR terkait pemberhentian Arief Budiman.
“Tapi jangan ragu pak, karena rakyat yang bertanya, kami akan jawab secara tertulis,” ujarnya.
Dia juga meminta semua pihak untuk membaca putusan DKPP tersebut secara menyeluruh. Tentunya dalam mengambil keputusan, tidak ada hal-hal yang ditutupi dan adanya kepentingan tertentu. Pasalnya, kata dia, seluruh sidang pelanggaran kode etik Arief Budiman dilaksanakan secara terbuka dan masyarakat bisa memantaunya.
“Kami minta tolong dibaca seluruh putusan pemberhentian Pak Arief. Semoga itu membantu mengapa DKPP mengambil keputusan itu,” katanya. (Bie)