Jakarta, JurnalBabel.com – Lonjakan utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sebagian berdenominasi valuta asing menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak.
Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, mengkhawatirkan “ledakan” krisis keuangan BUMN akan berdampak buruk bagi perekonomian nasional.
Menurut Amin, utang BUMN akan menimbulkan tanggung wajib kontingensi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara karena bila BUMN gagal bayar, pemerintah akan ikut menanggungnya.
Politisi PKS ini mengingatkan krisis moneter pada tahun 1998 yang dipicu oleh akumulasi utang yang tidak berhasil dikendalikan dan diselesaikan secara tuntas.
Pandemi memang meningkatkan risiko neraca keuangan BUMN maupun perekonomian nasional, namun kata Wakil Rakyat dari Jatim IV (Kabupaten Jember dan Lumajang) itu, tren kenaikan utang BUMN sudah berlangsung dalam lima tahun terakhir. Bukan semata terjadi akibat pandemi Covid-19.
“Pemerintah tidak bisa menjadikan pandemi Covid-19 sebagai alasan dibalik kegagalan mengelola utang BUMN,” tegas Amin dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/6/2021).
Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga akhir 2020 lalu, dari Rp12.181 triliun utang sektor publik, total utang BUMN mencapai Rp6.091 triliun. Rasio utang BUMN terhadap aset mencapai 67% yang berarti kemampuan perusahaan mencetak keuntungan tidak sebanding dengan laju kenaikan utangnya.
Utang BUMN didominasi oleh perbankan. Amin pun mengingatkan risiko sistemik pada bank-bank BUMN jika sampai mengalami kesulitan finansial yang pada ujungnya akan berpengaruh pada perekonomian secara luas. Risiko gagal bayar juga membayangi BUMN nonkeuangan terutama BUMN energi dan infrastruktur.
Ia menyontohkan PT PLN (Persero) yang saat ini memiliki utang mencapai Rp500 triliun, karena membengkaknya kewajiban (liabilitas) pada 2020. Padahal lima tahun lalu, utang PLN masih dibawah Rp50 triliun. Hal itu menunjukkan adanya mismanajemen utang.
Secara keseluruhan, posisi utang BUMN yang bukan Lembaga Keuangan, pada akhir tahun 2020 mencapai Rp1.053 triliun. Dua kali lipat dari posisi akhir tahun 2014 yang sebesar Rp504 triliun.
Untuk mencegah memburuknya kondisi keuangan BUMN, Amin meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit kondisi keuangan BUMN terkini. DPR berhak untuk mengetahui posisi terakhir atau kondisi keuangan BUMN agar bisa ikut mengawasi proses pembenahan terutama penyembuhan BUMN yang sakit yang saat ini dilakukan pemerintah.
“Utang seharusnya memiliki dampak yang positif terhadap kinerja. Tapi kita bisa lihat di return on equity (tingkat pengembalian terhadap modal), sebagian besar masih sangat kecil bahkan tidak sedikit yang negatif,” katanya.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini pun mendesak pemerintah mengendalikan pengeluaran besar infrastruktur besar untuk menghambat pengeluaran utang. Penumpukan utang bisa berdampak negatif terhadap generasi produktif di masa depan.
Legislator asal Jawa Timur ini juga berharap banyak pada Lembaga Pengelola Investasi (LPI) untuk bergerak aktif menurunkan utang BUMN terutama utang jangka pendek.
“Jangan biarkan bom waktu itu meledak dan merembet pada sendi-sendi perekonomian nasional lainnya,” pungkasnya. (Bie)