Oleh: Rizqon Halal Syah Aji, Pengajar pada Program Ilmu Ekonomi Pembangunan UIN Jakarta
Menjelang perayaan I’dul Fitri tahun 2020, nampaknya belum terlihat tanda-tanda menurunnya jumlah korban akibat pandemi covid-19. Malah, pemerintah resmi mengeluarkan larangan mudik lebaran tahun 2020. Kebijakan larangan mudik yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25/2020, sarat mempunyai argumentasi lemah dan disinyalir akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ada pasal-pasal di dalam Permenhub yang tidak familier dalam perihal peristilahan dan pengertian bagi pemahaman masyarakat. Pada masal 2 poin c misalnya menyebut istilah “aglomerasi”. Jelas kata itu bagi mayoritas masyarakat sama sekali belum di pahami secara persis makna yang dimaksud. Lebih dari itu, larangan mudik yang merupakan tradisi bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam merayakan Lebaran I’dul Fitri, berdampak pada pertumbuhan ekonomi, dikarena aliran uang dari kota ke desa-desa sangat deras. Namun pada lebaran kali ini “tradisi” mudik mendapatkan larangan resmi dari pemerintah. Sejauh apa larangan tersebut menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Lemahnya Argumentasi Hukum
Upaya pemerintah “memperketat” mudik melalui larangan yang dikeluarkan oleh kementerian perhubungan patut disoroti dengan seksama. Perhatian pada produk hukum itu patut dicermati khususnya pada pasal 2 dan pasal 14. Pada kesempatan ini akan dikupas pasal 2 dan 14 sebagai bagian batasan masalah dalam tulisan ini.
Pasal 2 pada Permenhub berbunyi sebagai berikut: Larangan sementara penggunaan sarana transportasi darat bagaimana dimaksud dalam pasal 1 berlaku untuk sarana transportasi dengan tujuan keluar dan/atau masuk wilayah: a. Pembatasan sosial berskala besar; b. Zona merah penyebaran corona virus disease 2019 (covid-19); dan c. Aglomerasi yang telah ditetapkan sebagai wilayah pembatasan sosial berskala besar.
Pasal tersebut menyebutkan istilah aglomerasi. Namun Permenhub tersebut tidak menjelaskan secara rinci maksud istilah tersebut. Kemudian pasal 14 pada poin c, d dan e yang berbunyi sebagai berikut:
c. kapal penumpang yang melayani transportasi rutin nonmudik untuk pelayaran lokasi terbatas dalam satu argomerasi kecamatan dengan ketentuan dan persyaratan pelayaran dilakukan antarpulau atau pelabuhan dalam wilayah satu kecamatan yang tidak dalam penetapan pembatasan sosial berskala besar atau zoan merah penyebaran corona virus disease 19 (covid-19);
d. Kapal penumpang yang melayani transportasi rutin nonmudik untuk pelayaran terbatas dalam satu aglomerasi kabupaten dengan ketentuan dan persyaratan pelayaran dilakukan antarpulau atau pelabuhan dalam wilayah satu kabupaten yang tidak dalam penetapan pembatasan sosial berskala besar atau zona merah penyebaran corona virus disease 19 (covid-19);
e. kapal penumpang yang melayani transportasi rutin nonmudik untuk pelayaran lokasi terbatas dalam satu aglomerasi provinsi dengan ketentuan dan persyaratan pelayaran dilakukan antarpulau atau pelabuhan dalam wilayah satu provinsi yang tidak dalam pembatasan sosial berskala besar penyebaran corona virus disease 19(covid-19).
Berulang kali istilah aglomerasi disebut. Kementerian perhubungan hanya menjelaskan tentang makna istilah aglomerasi sebagai satu kesatuan wilayah yang terdiri dari beberapa pusat kota dan kabupaten yang saling berhubungan. Pengertian yang disampaikan kementerian perhubungan patut mendapat koreksi yang serius. Sebagai produk hukum tentunya Permenhub diharapkan mempunyai pengertian dalam setiap pasalnya “familier” dalam pemaknaan semestinya dan mendapat penjelasan dengan rinci atau seditail mungkin.
Meminjam istilah ekonomi kependudukan yang dikemukan oleh Mudrajat Kuncoro (2012), Istilah aglomerasi adalah kumpulan kluster industri. Namun klaster atau superklaster tidak dapat diidentikan dengan suatu kota. Menurutnya sebenarnya literatur ekonomi kependudukan tidak membedakan aglomerasi dan klaster. Ia mencontohkan pendapat Montgomery (1988) tentang aglomerasi sebagai konklustersi spasial dari kativitas ekonomi di kawasan perkotaan karena “penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan klaster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen.”
Dari konteks istilah aglomerasi yang disebutkan oleh Permenhub tersebut dengan penyebutan pasal-pasal yang ada di dalamnya, sebenarnya masih nampak “klise.” Maksud pemaknaan yang sesungguhnya dari istilah aglomerasi pada Permenhub, secara faktual tidak masuk dalam scope definisi ekonomi kependudukan yang dimaksud oleh para ahli seperti yang disebut di atas.
Menurut Mudrajat Kuncoro (2012), ketika terjadi perkembangan konsep dan paradigma tentang aglomerasi pada perspektif klasik atau modern, maka dapat dimaknai bahwa secara perspektif klasik aglomerasi merupakan bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep “penghematan akibat aglomerasi.” Sedangkan secara perspektif modern menunjukan beberapa definisi pada lingkup ekonomi perkotaan, aglomerasi dinyatakan sebagai hasil dari produksi aglomerasi secara spasial.
Jika dapat meninjau istilah algomerasi pada konsteks ekonomi kependudukan maka pilihan diksi yang dimaksud dalam Permenhub nomor 25/2020, maka perlu ditegaskan makna sesunggunya secara teoritik agar peraturan menteri tersebut tidak lemah secara argumentasi hukum. Sebab dari pasal yang disebutkan di atas yakni pasal 2 dan pasal 14, terminologi aglomerasi belum dapat mengikat secara definisi yang lebih pasti dan jelas.
Selain itu secara faktual yang telah terjadi, sesungguhnya mudik sudah banyak dilakukan perantau sepanjang awal bulan ramadhan tahun 2020. Jika diamati meskipun telah terbit Permenhub setidaknya ada tiga hal kondisi krusial yang telah dilanggar para pemudik, karena lemahnya aturan menteri tersebut. Pertama adalah Permenhub tersebut menyebutkan pasal larangan mudik.
Namun demikian larangan mudik tersebut berlaku pada daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kondisi ini tidak mencakup daerah yang tidak PSBB sehingga berakibat longgarnya larangan mudik. Implikasi yang terjadi, Permenhub hanya akan efektif di daerah jawa itupun pada daerah yang diputuskan sebagai zona merah seperti Jabotabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya.
Kedua, Permenhub melakukan larangan mudik dikecualikan untuk sarana transportasi darat yang ada dalam satu wilayah aglomerasi. Hal ini tentu berimplikasi melanggar Permenhub, sebab diperbolehkannya mudik intra wilayah aglomerasi yang jumlahnya juga tidak sedikit. Jika mudik intra wilayah aglomerasi dilanggar maka akan melemahkan efektivitas PSBB.
Ketiga, meskipun Permenhub sudah terbit dan berlaku, tetap saja penggaran akan terus berjalan, selama Kereta Rel Listrik (KRL) comuter Jabodetabek masih beroperasi. KRL comuter ini merupakan media yang signifikan dalam penyebaran virus covid-19.
Anjlognya Pertumbuhan Ekonomi
Pelaksanaan Permenhub 20/2020, tentang larangan mudik jelas akan berimplikasi pada aspek ekonomi negara. Ada “tradisi” dalam setiap lebaran, yakni mudik yang berimplikasi pada derasnya aliran uang dari kota ke desa. Hal itu jelas akan mendorong konsumsi masyarakat, khususnya bagi pemudik dengan moda darat, jelas akan mendorong geliat ekonomi daerah dimana pemudik dapat singgahi.
Secara teori mobilitas penduduk, Prijono Tjiptoherijanto (1999) menjelaskan bahwa perpindahan mobilitas orang akan diikuti oleh pengeluaran atau peningkatan konsumsi rumah tangga. Dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga maka berimplikasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika hambatan orang mudik terjadi secara masif tentu tidak dihindari dampaknya, yakni perekonomian akan anjlog dan berakibat pada pertumbuhan ekonomi Indonesia terganggu.
Permenhub yang merupakan kebijakan pemerintah dalam mempercepat pemutusan penyebaran virus covid-19. Namun Permenhub tersebut terasa “pongah” dalam artikulasi dan esensi yang diharapkan oleh masyarakat. Terdapat istilah algomerasi tang secara akademik mempunyai tafsir yang kurang tepat dalam mengartikulasi pelarangan mudik pada lingkup wilayah yang tidak memberlakukan PSBB maupun pada lingkup wilayah yang memberlakukan PSBB. Sehingga diharapkan Permenhub tersebut bisa kembali di evaluasi dan mendapatkan perbaikan-perbaikan dari segi artikulasi dan subtansi.
Pemberlakuan permenhub tentang larangan mudik, jelas akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kejadian yang sudah berjalan puluhan tahun, mentradisikan mudik sebagai budaya silaturahmi saat lebaran. Namun esensinya secara ikutan terjadi transformasi kesejahteraan ekonomi “kagetan” penduduk desa berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi.
Akar utama pandemi covid-19 adalah kesehatan. Namun porsi perhatian pemerintah masih dominan dari sisi dampak ekonomi semata, oleh karena itu pemerintah seyogyanya bisa arif dalam menyelesaikan pandemi covid-19 ini dengan para expert bidang ekonomi kesehatan maupun dengan para pakar kesehatan masyarakat, agar kebijakan-kebijakan yang diambil tidak timpang dan nampak “pongah.” []