Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi IX DPR Fraksi PAN, Ashabul Kahfi, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan yang diujikan Partai Buruh terkait UU Cipta Kerja.
Menurutnya, putusan MK tersebut untuk menjaga dan menghadirkan keadilan para buruh.
Di satu sisi, Ashabul menyebut penyusunan UU Cipta Kerja merupakan produk hukum yang kurang memenuhi standar dan terkesan tergesa-gesa. Bahkan ia mengingatkan dari awal MK sudah meminta untuk ditunda pemberlakuannya.
“Jika hari ini banyak masyarakat yang menggugat tentang UU ini menunjukkan bukti bahwa kualitas UU ini sangat tidak sosiologis dalam memenuhi keadilan masyarakat,” kata Ashabul Kahfi kepada wartawan, Senin (4/11/2024).
Ashabul juga menilai wajar bila Partai Buruh mewakili suara buruh menggugat aspek ketenagakerjaan dalam UU Ciptaker.
Ashabul menyoroti, kekuataan dalam berbagai landasan pada gugatan mereka menyebabkan MK mengabulkan pengujian 21 norma pasal dalam UU Ciptaker.
“Terutama yang berkaitan dengan Tenaga Kerja Asing, pekerjaan alih daya, cuti, upah, PHK dan pesangon,” pungkasnya.
12 Point Penting
Ada 12 poin penting yang dikabulkan MK dengan nomor putusan 168/PUU-XXI/2023 terkait gugatan Undang-undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker yang diajukan kelompok buruh pada Kamis (31/10/2024) malam.
- UU Ketenagakerjaan dipisah
Dalam putusan itu, MK meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru, terpisah dari UU Cipta Kerja.
Mahkamah menyoroti “impitan norma” soal ketenagakerjaan yang dinilai sulit dipahami awam dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakadilan yang berkepanjangan.
- Tenaga kerja Indonesia harus diutamakan dari TKA
MK membatalkan beleid multitafsir yang tidak mengatur pembatasan secara tegas soal masuknya tenaga kerja asing (TKA).
“Hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki”.
Majelis hakim menambahkan klausul “dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia” pada Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja.
- Durasi kontrak kerja dipertegas
MK juga menegaskan lagi soal aturan durasi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang sebelumnya, dalam UU Cipta Kerja, dikembalikan pada perjanjian/kontrak kerja.
Pasalnya, UU Ketenagakerjaan sebelumnya mengatur agar durasi tersebut didasarkan pada waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
Melalui putusan ini, demi melindungi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh, MK menegaskan bahwa durasi PKWT maksimum 5 tahun–termasuk bila terdapat perpanjangan PKWT.
- Jenis outsourcing dibatasi
Majelis hakim juga meminta supaya undang-undang kelak menyatakan agar menteri menetapkan jenis dan bidang pekerjaan alih daya (outsourcing) demi perlindungan hukum yang adil bagi pekerja.
Menurut MK, perusahaan, penyedia jasa outsourcing, dan pekerja perlu punya standar yang jelas mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dapat dibuat outsourcing, sehingga para buruh hanya akan bekerja outsourcing sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian.
Batasan ini juga diharapkan dapat mempertegas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik outsourcing yang kerap memicu konflik/sengketa pekerja dengan perusahaan.
- Bisa libur 2 hari seminggu
MK pun mengembalikan alternatif bahwa terdapat opsi libur 2 hari dan 5 hari kerja seminggu untuk para pekerja.
Sebelumnya, aturan dalam UU Cipta Kerja hanya memberi jatah libur 1 hari seminggu untuk pekerja tanpa opsi alternatif libur 2 hari.
Padahal, UU Ketenagakerjaan sejak awal menyediakan opsi libur 2 hari seminggu untuk pegawai yang dibebaskan berdasarkan produktivitas masing-masing perusahaan.
- Upah harus mengandung komponen hidup layak
UU Ciptaker melenyapkan penjelasan mengenai komponen hidup layak pada pasal soal penghasilan/upah yang sebelumnya diatur UU Ketenagakerjaan.
“Berkenaan dengan norma baru tersebut, menurut Mahkamah tetap diperlukan adanya penjelasan maksud ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ karena penjelasan tersebut merupakan bagian penting dalam pengupahan,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan.
Oleh karena itu, MK meminta pasal soal pengupahan harus “mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua”.
- Hidupkan lagi dewan pengupahan
Mahkamah juga menghidupkan lagi peran dewan pengupahan yang dihapus di UU Cipta Kerja, sehingga penetapan kebijakan upah ke depan tak lagi sepihak di tangan pemerintah pusat.
MK menegaskan, kebijakan upah mesti “melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah” sebagai bahan bagi pemerintah pusat menetapkan kebijakan upah.
Aturan soal dewan pengupahan pada UU Cipta Kerja juga dilengkapi MK dengan klausul bahwa dewan tersebut “berpartisipasi secara aktif’.
- Skala upah harus proporsional
Majelis hakim juga merasa perlu menambahkan frasa “yang proporsional” untuk melengkapi frasa “struktur dan skala upah”.
MK juga memperjelas frasa “indeks tertentu” dalam hal pengupahan sebagai “variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”.
- Upah minimum sektoral berlaku lagi
UU Cipta Kerja sebelumnya telah menghapus ketentuan upah minimum sektoral (UMS).
MK menilai, kebijakan itu dalam praktiknya sama saja negara tak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja.
MK menegaskan, UMS mesti diberlakukan karena pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda, tergantung tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan.
Sehingga, dihapusnya UMS dinilai bisa mengancam standar perlindungan pekerja.
- Serikat pekerja berperan dalam pengupahan, upah harus memperhatikan masa kerja
Mahkamah juga memasukkan kembali frasa “serikat pekerja/buruh” pada aturan soal upah di atas upah minimum.
Sebelumnya, di dalam UU Cipta Kerja, kesepakatan itu dibatasi hanya antara perusahaan dan pekerja.
Di samping itu, MK juga menambahkan agar struktur dan skala upah di perusahaan tak hanya memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, tetapi juga “golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi”.
- PHK baru bisa dilakukan usai putusan inkrah
MK menegaskan, perundingan bipartit terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dilakukan secara musyawarah mufakat.
Apabila perundingan itu mentok, MK menegaskan bahwa PHK “hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap” sesuai ketentuan dalam Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
- Batas bawah uang penghargaan masa kerja (UPMK)
Mahkamah juga menyatakan bahwa pengaturan soal hitungan UPMK di dalam UU Cipta Kerja adalah nominal batas bawah.
MK menegaskan, Pasal 156 ayat (2) dalam pasal 81 angka 47 beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “paling sedikit”.