Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi VII DPR RI mendorong agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap implementasi kebijakan insentif Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang selama ini sudah dijalankan.
Diketahui, kebijakan insentif HGBT tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 121 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 Tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Anggota Komisi VII DPR, Sartono Hutomo, mengatakan efektif atau tidaknya sebuah kebijakan dalam hal ini kebijakan insentif HGBT mesti di lihat secara objektif.
“Ketika kebijakan ini pertama kali diterbitkan tahun 2020 saat Covid-19 melanda hingga sekarang seperti apa dampaknya? Apakah ada dampak positifnya atau sebaliknya? Untuk mengukur dampak tersebut diperlukan skema evaluasi saya kira sebagai sarana untuk melakukan penilaian secara objektif,” kata Sartono kepada wartawan, kemarin.
Melalui evaluasi, lanjut dia, nantinya bisa terlihat efektif atau tidaknya kebijakan tersebut.
“Apakah berdampak positif ketika negara menggelontorkan anggaran untuk dukung sektor industri tertentu. Misal, serapan tenaga kerja perusahaan-perusahaan industri penerima kebijakan insentif HGBT serapannya maksimal atau sebaliknya. Kontribusi mereka terhadap pendapatan negara juga mesti dihitung apakah berkontribusi positif atau seperti apa?,” ucapnya.
Politisi Partai Demokrat ini mengungkapkan, berdasarkan informasi yang diperolehnya terkait tujuh perusahaan industri penerima manfaat kebijakan insentif HGBT, hanya sebagian saja yang berkontribusi positif.
“Kalau mengacu kepada Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Dalam Keputusan ini terdapat 7 sektor yang mendapatkan dukungan dari Pemerintah untuk mendapatkan HBGT, yaitu:
1. Pupuk
2. Petrokimia
3. Oleokimia
4. Baja
5. Keramik
6. Gelas kaca
7. Sarung tangan karet
Dengan pemberian HGBT sebesar US$ 6 per MMBTU. Namun di dalam 7 kelompok industry tersebut hanya 3 kelompok yang mengalami peningkatan investasi yang konsisten di 3 tahun terakhir, yaitu industry pupuk, industry oleokimia dan industry sarung tangan karet,” ungkapnya.
Terakhir, Sartono juga berharap agar ada audit terhadap pelaksanaan kebijakan insentif HGBT.
“Mungkin BPK RI bisa melakukan audit terhadap implementasi kebijakan ini. Audit diperlukan agar semua terlihat transparan. Audit juga sebagai sarana mengukur sejauh mana para penerima insentif ini berkontribusi terhadap negara. Saya kira sekali lagi evaluasi dan audit adalah saran yang paling relevan dalam menyikapi kebijakan ini. Kita jangan terjebak dukung atau tidak, semua harus berangkat dari data sebelum memutuskan sebuah kebijakan selanjutnya. Data ini hanya bisa dilihat ketika sudah ada evaluasi dan audit,” pungkasnya.