Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VIII DPR, Muhammad Husni, menyatakan ada kerancuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaran Kesehatan Haji, terutama ketentuan Pasal 10 hingga 13.
Pasal 10 mengatur bahwa untuk jamaah yang memenuhi syarat istithaah, yakni jamaah yang memiliki kemampuan untuk mengikuti proses ibadah haji tanpa bantuan obat, alat, dan atau orang lain dengan tingkat kebugaran jasmani setidaknya dalam kategori cukup.
Sementara itu, jamaah yang tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan diatur pada Pasal 13. Mereka adalah jamaah dengan kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, seperti jamaah yang menderita penyakit paru obstruksi kronis derajat IV, gagal jantung stadium IV, AIDS, stadium IV. Tidak hanya itu, pasien skizofernia dengan kategori berat juga masuk dalam status tidak memenuhi syarat.
Husni pun mengaku dirinya termasuk pihak yang tidak bisa berangkat haji apabila mengacu pada Permenkes tersebut. Pasalnya, ia rutin atau bergantung pada obat dan ia juga menggunakan kaca mata.
Sebab itu, Husni berharap harus ada Standar Operasional Prosedural atau SOP dalam mengimplementasikan Permenkes itu sebagai syarat kesehatan bagi jamaah untuk melaksanakan ibadah haji, terutama di 2024. Misalnya, tingkat denyut nadi sudah melemah, kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi dan lainnya.
Apabila SOP itu tidak dibuat atau terlalu ketat dan standar, ungkap Husni, maka ini membuka praktek percaloan dalam proses pemenuhan syarat kesehatan bagi jamaah haji Indonesia.
“Sudah lah jangan kita anuhkan ini (calo), jangan kita lewatkan lah kira-kira,” ungkap Husni dalam rapat dengar pendapat Panitia Kerja Komisi VIII DPR dengan Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan terkait Pembahasan Kompenen Biaya Kesehatan Haji Tahun 2024, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Selain itu, lanjut Husni, proses pemeriksaan syarat kesehatan jamaah haji ini harus ada second opinion medis, yang merupakan prosedur medis yang dilakukan oleh pasien dimana pasien mencari pendapat dari dokter lain untuk mengkonfirmasi atau menyangkal diagnosis awal.
“Misalnya dia pergi ke Puskesmas, tidak lewat dia. Dia pergi ke dokter ahli dengan pemeriksaan lengkap dan sebagainya, ini seharusnya jadi rujukan,” kata politisi Partai Gerindra ini.
Husni menambahkan, second opinian medis ini tidak menjadi masalah bagi jamaah yang mampu secara financial, tapi ini menjadi masalah bagi jamaah yang kurang mampu.
“Kalau orang senang mungkin ada second opini. Kalau orang susah, bapak begitu dibilang tidak bisa berangkat, besok mati dia, stres. Sudah menunggu 20 tahun, tidak bisa berangkat lagi,” ucapnya.
Maka dari itu, legislator asal Sumatera Utara ini menandaskan bahwa Kemenkes dan Kemenag perlu mengevaluasi jamaah yang meninggal dunia akibat gagal berangkat haji karena faktor kesehatan.
(Bie)