Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi XI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Sekjen BPK dan Kepala BPKP pada Senin (7/6/2021) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Rapat ini bertajuk Pembahasan Pagu Indikatif BPK dan BPKP dalam RAPBN 2022.
Pagu indikatif merupakan perkiraan pagu anggaran yang diberikan kepada Kementerian/Lembaga (K/L) sebagai pedoman dalam penyusunan rencana kerja K/L terkait.
Dalam rapat yang berlangsung dinamis ini, anggota komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, menyampaikan sejumlah catatan dan harapannya.
Hal pertama yang menjadi catatan Anis, terkait dengan kekuatan BPK dalam memastikan berjalannya rekomendasi yang dikeluarkannya. Anis mengatakan, sejauh pengamatan dan informasi yang didapatkannya dari BPK-BPK Provinsi, rekomendasi yang diberikan oleh BPK seringkali hanya disikapi oleh pihak terkait dengan berkirim surat saja. Sementara, pelaksanaan rekomendasi BPK secara riil, jarang dilakukan.
Anis menyayangkan follow up dari temuan BPK yang hanya cukup disikapi dengan berkirim surat oleh pihak terkait dan BPK seperti berhenti sampai disitu. “Itu sebabnya, sangat bisa difahami mengapa kebocoran masih banyak terjadi,” ujarnya.
Anis yang menjabat sebagai wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menyoroti data yang disampaikan oleh BPK mengenai capaian kinerja pemeriksaan. Data itu menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2018-2020, BPK menemukan 70.499 dari 106.842 permasalahan dengan nilai kerugian sebesar 166,23 triliun.
Dari temuan tersebut, sebanyak 48.111 (45%) merupakan permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp 130,66 triliun. Sebanyak 43.038 (40%) merupakan permasalahan kelemahan system pengendalian internal dan 15.693 (15%) merupakan permasalahan ketidakhematan, ketidak efisienan dan ketidak efektifan yaitu sebesar Rp 35,57 triliun.
Terkait dengan data ini, Anis mempertanyakan kinerja BPKP yang memiliki fungsi salah satunya melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara, meliputi kegiatan lintas sektoral, kegiatan kebendaharaan umum negara, dan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
“Dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya, semestinya BPKP bisa turut andil meminimalisir ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dan kelemahan system pengendalian internal,” tutur Anis.
Adapun terkait dengan pagu indikatif yang diajukan BPK dimana BPK mengajukan anggaran sebesar Rp 4,591 triliun sementara Menteri Keuangan menganggarkan Rp 3,729 triliun untuk tahun 2022. Karenanya BPK mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp861,99 miliar untuk disetujui Komisi XI DPR RI.
Anis menilai angka tersebut sangat wajar mengingat beratnya tugas yang harus ditunaikan oleh BPK. Namun, ia menyoroti serapan anggaran BPK pada tahun 2020 yang belum mampu menyerap 100% anggaran (95,55%) dan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya (98,21%).
“Seharusnya BPK memiliki langkah-langkah antisipatif agar penyerapan anggaran dqpat optimal sehingga kerja-kerja BPK tidak terganggu,” pungkasnya. (Bie)