Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi IX DPR, Ashabul Kahfi, mendesak aplikator ojek online (Ojol) perlu segera merespons secara serius dan terbuka terhadap tuntutan para mitra pengemudi.
Menurutnya, apa yang disuarakan oleh para driver Ojol bukan semata-mata soal tarif atau bonus, tetapi menyangkut keadilan dalam relasi kerja digital.
“Dalam konteks ini, saya melihat pentingnya penegakan prinsip perlindungan pekerja dalam ekosistem ekonomi digital. Kita tak boleh menutup mata bahwa para pengemudi adalah tulang punggung utama dalam layanan aplikasi transportasi, tetapi sering kali tidak mendapatkan posisi tawar yang adil,” kata Ashabul Kahfi dalam keterangannya, Senin (21/7/2025).
Sebelumnya, sebanyak 1.632 personel polisi dikerahkan untuk mengamankan pelaksanaan demonstrasi kelompok ojek online (ojol) di sekitar Istana Merdeka, Jakarta, hari ini.
Mereka memiliki 5 tuntutan dalam aksi demo ini sebagai berikut:
- Mendesak DPR mengesahkan UU khusus transportasi online.
- Penurunan potongan komisi aplikator menjadi 10%.
- Penetapan tarif layanan pengantaran oleh Kominfo dan Kementerian Digital.
- Audit menyeluruh terhadap operasional aplikator.
- Penghapusan sistem membership yang dinilai merugikan.
Ashabul menjelaskan maksud dari tidak mendapatkan posisi tawar yang adil. Ketika algoritma yang tidak transparan, skema insentif yang terus berubah, dan beban kerja meningkat, sementara perlindungan sosial dan jaminan kerja minim, maka sangat wajar jika terjadi keresahan seperti hari ini.
“Karena itu, saya mendesak pihak aplikator untuk segera duduk bersama perwakilan pengemudi dan menyepakati langkah konkrit, bukan sekadar pernyataan normatif,” ujarnya.
Politisi PAN ini pun meminta Pemerintah perlu hadir secara aktif dalam proses ini, termasuk dengan meninjau regulasi yang belum cukup adaptif terhadap model kerja baru berbasis platform.
‘Komisi IX DPR RI siap memfasilitasi dialog tripartit antara pengemudi, aplikator, dan pemerintah guna mencari solusi yang adil, berkelanjutan, dan saling menguntungkan,” katanya.
Pihaknya juga mendorong percepatan pengesahan regulasi perlindungan pekerja sektor informal digital, termasuk jaminan sosial, standar minimum kerja, dan transparansi algoritma.
“Ini bukan soal menentang kemajuan teknologi, tapi soal memastikan manusia tetap menjadi pusat dalam inovasi digital,” pungkas legislator asal dapil Sulawesi Selatan ini.