Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Jokowi pada periode kedua pemerintahannya tetap fokus menggenjot sektor perekonomian. Untuk mengatasi hal itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini akan membenahi berbagai peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih serta menghambat investasi, dengan membentuk Badan Pusat Legislasi Nasional (BPLN) serta menerapkan konsep Omnibus Law.
Ide pembentukan BPLN diusulkan Jokowi pada saat debat perdana calon presiden 2019 pada 17 Januari 2019. Jokowi menyampaikan hal itu saat menanggapi jawaban Prabowo Subianto soal sinkronisasi peraturan dengan mengoptimalkan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Lalu Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah mengamanatkan pembentukan lembaga/badan yang mengurusi penyusunan peraturan perundang-undangan di internal pemerintahan baik pusat maupun daerah.
Berdasarkan data yang diperoleh selama ini, terdapat 7.621 Peraturan Menteri (Permen); 765 Peraturan Presiden (Perpres); 452 Peraturan Pemerintah (PP); dan 107 UU. Sayangnya, hingga kini pemerintah masih merumuskan pembentukan BPLN. Sehingga, struktur, kewenangan, tata kerja lembaga ini belum diketahui.
Sementara Omnibus Law pertama kali disinggung oleh Presiden Jokowi pada pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden RI 2019-2024, Minggu (20/10/2019). Omnibus Law bertujuan menyederhanakan kendala regulasi yang saat ini berbelit dan panjang. Rencananya, Jokowi ingin mengajak DPR untuk menggodog 2 UU besar. Yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.
Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad, mengatakan, Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan menyambut HUT RI Ke 74 di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 15 Agustus 2019, menyampaikan butuh untuk terus melakukan deregulasi penyederhanaan dan konsistensi regulasi. Dan juga harus terus melakukan debirokratisasi penyederhanaan kerja, penyederhanaan proses yang berorientasi pada pelayanan.
Lebih lanjut Suparji menilai pembentukan BPLN dan menggunakan konsep hukum Omnibus Law tidak sejalan dengan pidato Jokowi terkait deregulasi dan debirokratisasi. “Pada satu sisi mau menyederhanakan hukum, tapi malah buat lembaga baru. Paradoks,” ujar Suparji Achmad saat dihubungi di Jakarta, Kamis (14/11/2019) malam.
Menurut Suparji yang sering kali menjadi ahli hukum dalam berbagai persidangan ini, kedua keinginan Presiden tersebut masih belum diperlukan atau belum urgensi dilakukan saat ini. Pasalnya, kata Suparji, tanpa keduanya tugas tersebut tetap bisa jalan dengan adanya Badan Pembinaan Hukum Nasional atau BPHN dan Badan Legislasi (Baleg) DPR.
“Ya tanpa itu (BPHN dan Omnibus Law-red) kan sudah jalan. Pelaksanaannya saja perlu dibenahi,” katanya.
BPHN memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) salah satunya sebagai pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana pembangunan hukum nasional dan program legislasi nasional (prolegnas) serta pembinaan dan pengembangan sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum serta perpustakaan hukum.
Sementara Baleg DPR memiliki tupoksi antara lain menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPR; mengoordinasikan penyusunan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan Prioritas tahunan antara DPR, Pemerintah dan DPD; mengoordinasikan penyusunan naskah akademik dan rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, dan gabungan komisi; melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang dan lainnya.
Suparji menilai kedua peran badan tersebut kurang dioptimalkan. Sebagai contoh dalam pembahasan RUU belum sepenuhnya memberikan mandat pada BPHN. Sementara di Baleg DPR dalam pembahasan sebuah RUU lebih banyak kepentingan politiknya dibandingkan kepentingan rakyat. Sebab itu, Suparji menegaskan bahwa BPLN dan Omnibus Law tidak diperlukan.
“Betul optimalkan saja BPHN dan Baleg DPR, karena keduanya (BPLN dan Omnibus Law) keinginan tersebut masih belum kelihatan urgensinya,” tegasnya. (Bie)
Editor: Bobby