Oleh : Dr. Didik Mukrianto, SH.,MH
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat
Disaat pelantikan Presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Oktober 2019, ada hal yang menarik dengan munculnya istilah Omnibus Law.
Berdasarkan Kamus Hukum Merriam Webster, omnibus law berasal dari omnibus bill, yakni Undang-Undang yang mencakup berbagai isu atau topik. Omnibus berasal dari bahasa latin yang berarti segalanya. Dan konsep omnibus law sendiri dalam peraturan perundang-undangan lebih mengarah pada tradisi negara-negara Anglo-Saxon.
Omnibus Law sendiri di Indonesia diharapkan dapat menjadi solusi konkrit dalam menciptakan iklim bisnis dan investasi yang lebih baik dengan cara membuat regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang subtansi pengaturannya berbeda menjadi satu aturan dalam satu payung hukum.
Pemerintahan Presiden Jokowi sendiri mengidentifikasi sedikitnya ada kurang lebih 79 Undang-Undang yang terdampak dari omnibus law.
RUU Omnibus Law pertama yang diusulkan pemerintah ke DPR adalah RUU Cipta Kerja. RUU Cipta Kerja ini diharapkan RUU yang dapat menghadirkan kemudahan berinvestasi.
Namun demikian niat dan upaya pemerintah sebagai inisiator RUU Omnibus Law yang pertama, yaitu RUU Cipta Kerja, beberapa saat setelah Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja dikirimkan Presiden ke DPR, ternyata mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat, bahkan beberapa kelompok masyarakat terang-terangan menolak RUU Cipta Kerja.
Kenapa beberapa kelompok masyarakat merespon negatif atau bahkan menolak Omnibus Law pertama RUU Cipta Kerja ini? Kalau kita membaca Naskah Akademiknya dan RUU-nya, maka akan dengan mudah memahami kegelisahan publik. Ada beberapa catatan penting sebagai bahan diskursus publik yaitu :
1. Pemerintah dianggap kurang transparan dan tidak memberikan ruang yang cukup bagi partisipasi publik, khususnya dalam penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang (RUU).
Kalau mendasarkan Pasal 88 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, seharusnya Naskah Akademik dan Draft RUU disebarluaskan kepada masyarakat untuk memberikan informasi sekaligus untuk mendapatkan masukan publik dan pemangku kepentingan lainnya sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan RUU, pembahasan RUU hingga pengundangan.
Anggapan ketidaktransparan pemerintah inilah yang kemudian menimbulkan gejolak penolakan publik baik dari kelompok buruh, penggiat lingkungan, pemerintah daerah, pers dan lainnya segera setelah Naskah Akademik dan RUU diserahkan ke DPR.
2. RUU Cipta Kerja dianggap RUU yang sangat Pragmatis.
Konsekuensi logis dari metode Omnibus Law dalam RUU Cipta Kerja ini telah menimbulkan pergeseran paradigma dan politik hukum.
Penggabungan berbagai UU yang pada awalnya mempunyai politik hukum yang berbeda-beda, dengan metode Omnibus Law akan digabung menjadi satu UU, sehingga politik hukum RUU Cipta Kerja ini secara pragmatis akan mengesampingkan politik hukum berbagai UU yang digabungkan.
Ada kesan pemerintah mendorong pengusulan RUU Cipta Kerja ini tanpa informasi yang tidak berimbang. Di satu sisi RUU Cipta Kerja yang pembentukannya menganut sistem Omnibus, dipersepsikan obat dari segala obat yang akan menyelesaikan semua permasalahan.
Memang benar, tidak bisa dinafikkan RUU Cipta Kerja pasti ada manfaatnya kedepan. Namun di sisi lain, Naskah Akademik RUU Cipta Kerja tidak menjelaskan praktek Omnibus Law di negara lain yang mengandung kelemahan, yaitu Praktek yang pragmatis dan kurang demokratis.
Sedemikian pragmatis dan tidak demokratisnya RUU Cipta Kerja ini, dalam beberapa substansi penting terjadi pergeseran paradigma yang cukup ekstrim.
Misalkan, dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Minerba, UU Tenaga Kerja, UU Pers yang mempunyai politik hukum sendiri-sendiri yang pembahasannya melalui tahapan panjang dan melibatkan segenap stake holders, dengan RUU Cipta Kerja akan berubah paradigmanya yang menekankan kepada penciptaan iklim investasi dan berusaha, persyaratan perijinan, pembebasan lahan, kebijakan ketenagakerjaan yang semuanya dibuat untuk kepentingan menarik investasi. Penyatuan politik hukum inilah yang menjadi persoalan yang harus dicarikan jalan keluarnya secara bijak.
3. Berpotensi diboncengi oleh “Penumpang Gelap”.
Presiden menghendaki pembahasan RUU Cipta Kerja ini dilakukan dengan cepat. Namun perlu diingat RUU Cipta Kerja ini begitu kompleks, menyatukan sekitar 79 Undang-Undang menjadi 1 Undang-Undang, dengan jumlah pasal yang juga tidak kalah banyak sekitar seribuan pasal, semangat cepat yang tidak didukung suasana yang tenang, waktu yang cukup justru bisa melahirkan ketidakcermatan.
Ada kesan perumusan RUU dilakukan secara tertutup, padahal RUU bukan kontrak privat, tapi melibatkan segenap kepentingan masyarakat dan banyak pihak.
Akibat ketidakcermatan itu telah menimbulkan beberapa kejutan yang mengagetkan dalam RUU Cipta Kerja, diantaranya munculnya Pasal 170 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengubah Undang-Undang melalui Peraturan Pemerintah.
Dalam negara hukum yang demokratis, menghidupkan kembali pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah juga menjadi pelanggaran serius konstitusi kita. Belum lagi atas nama cepat tapi tidak cermat akan berpotensi banyak penumpang gelap yang bisa membonceng perumusan dan pembahasan RUU untuk kepentingannya.
4. RUU Cipta Kerja dianggap RUU yang tidak Demokratis.
Jangan hanya atas nama target yang cepat, jangan atas nama Investasi kemudian menafikkan kepentingan masyarakat, partisipasi dan masukan publik.
Apabila pemerintah tidak lagi mau mengajak dan memberi ruang buat partisipasi publik yang cukup, mendengar masukan masyarakat secara utuh dan hanya main tabrak, tidak bisa dinafikkan kalau publik kemudian bertanya, untuk kepentingan siapa RUU Cipta Kerja ini dibuat? Untuk masyarakat Indonesia atau untuk kepentingan Asing?
Karena RUU Cipta Kerja saat ini sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat, masyarakat berharap agar Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih akomodatif terhadap masukan dan harapan masyarakat. Pemerintah dan DPR harus bisa menjawab kegelisahan publik dan memastikan RUU Cipta Kerja ini melindungi dan menjamin hak dan kepentingan warga negara Indonesia. Masyarakat akan terus memantau dan mencatat, untuk kepentingan siapa wakilnya di DPR bekerja.