JURNALBABEL.COM—Belum lama ini, penyair muda Frans Ekodhanto Purba meluncurkan buku antologi puisi tunggalnya yang ke-2 berjudul, “Marhajabuan” di Gedung Serba Guna, Galeri Nasional Indonesia, Jl. Medan Merdeka Timur, No.14, Gambir, Jakarta Pusat pada Jumat 2 November 2018. Frans menyampaikan, bahwa buku antologi puisi tunggalnya yang ke-2 ini merupakan puisi-puisi yang berangkat dari latar budaya Batak Toba yang dihadiahkan kepada putra pertamanya, Adriell Cirrillo Purba.
Acara peluncuran buku puisi Frans yang ke-2 ini dimeriahkan dengan pembacaan puisi dari segala lapisan masyarakat, mulai dari pemuka agama, dosen, guru, mahasiswa, pejabat, seniman (penyair, teatrawan, pelukis), budayawan, dan lain sebagainya. Para penampil dalam acara ini antara lain, Yvonne De Fretes (Penyair), Sihar Ramses Simatupang (Penyair), Bahrullah Akbar (Wakil Ketua BPK RI), Gatot S Dewa Broto (Seskretaris Menteri Pemuda dan Olahraga RI), Iwan Jaconiah Kurniawan (Penyair), Ridwan Manantik (Pelukis), Yostiani Noor (Dosen Sastra UPI Bandung), Susi Nurhati (Sekretaris Dinas Pendidikan DKI Jakarta), Hani H. Sumarno (Pegiat Komunitas Gerakan Pungut Sampah dan Penyuka Sastra), Jose Rizal Manua (Pendiri Teater Anak-Anak, Teater Tanah), Air, Edi Bonetski (Perupa/Pelukis).
“Bagi sebagian orang, budaya merupakan suatu yang usang, kuno dan tidak keren, akan tetapi bagi saya, khususnya budaya Batak Toba adalah semacam sebuah semangat sekaligus harapan,” imbuh Frans.
Dijelaskan Frans, ke-65 puisi latar utamanya budaya Batak Toba, baik soal kelahiran, proses lamaran, pernikahan, kematian hingga pohon atau tumbuhan serta kuliner-kuliner khas Batak Toba yang tidak pernah absen dan juga memunyai peranan yang khas dalam sistem adat dan peradatan. Dengan kata lain, buku puisi “Marhajabuan” ini bercerita tentang kekayaan tradisi serta kekayaan alam Batak Toba yang berada di punggung bukit dan di bibir Danau Toba.
Selain bercerita tentang keindahan dan kekagumannya tentang budaya serta Tanah Batak Toba, puisi ini juga menjadi semacam koreksi atau kritik oto kritik terhadap kebudayaan pada umumnya yang secara perlahan tapi pasti mulai ditinggalkan oleh pewarisnya, penuturnya, penganut atau pengikutnya. Dalam hal ini, Frans tidak sedang berusaha mendudukkan siapa yang benar dan siapa yang salah apalagi sedang bersusah-susah untuk mencari kesalahan atau kelemahan dari budayanya atau orangnya.
Dengan kata lain, Frans mencoba untuk mengingatkan kembali, bahwa Indonesia memunyai budaya yang adiluhung , dalam hal ini Budaya Batak Toba. Budaya dan kebudayaan itu harus dinikmati dan diresapi oleh para pemiliknya agar menjadi panduan dalam menjalankan hidup dan kehidupan. Jika budaya itu dianggap usang, tentu ada yang keliru. Maksudnya, usang itu akan terjadi jika orang atau seseorang tidak pernah sama sekali dikenalkan pada budayanya sendiri dan tiba-tiba diwariskan begitu saja dan “dipaksa” untuk menjalankannya.
“Cerita akan menjadi berbeda jika budaya dan kebudayaan tersebut diperkenalkan sejak dini kepada seseorang. Awalnya memang tidak tahu, tidak bisa memahami apalagi menikmati akan tetapi jika diberikan secara terus menerus akan tertanam juga di hati dan bisa mencintai,” papar penyair kelahiran Desa Sei Suka Deras ini.
Frans juga menuturkan, seawal ia dikenalkan dengan budaya Batak Toba, jangankan untuk menikmati, mengerti saja pun ia tidak. Akan tetapi, jika dilakoni atau diikuti secara terus menerus maka akan timbul rasa ingin tahu dan lahir bermacam pertanyaan. Kenapa orang mati meski dibuat acara yang “meriah”? Bukannya orang mati butuh ditangisi? Kenapa menikah harus pakai gondang dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit? Kenapa dalam musik tradisi tidak ada alat musik modern, seperti gitar listrik, drum, dan lain sebagainya? Kenapa? Kenapa? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan lahir secara alami rasa keingin tahuan tentang jati dirinya sebagai orang Batak Toba. Maka, secara langsung maupun tidak langsung seseorang tersebut akan mencari dan mencari kediriannya lewat budaya tradisinya sendiri. Jika ia sudah menemukan, maka secara langsung maupun tidak langsung seorang tersebut akan belajar berkonfrontasi dengan pikiran dan hati, demikian seterusnya hingga muncul rasa cinta terhadap budayanya sendiri.
“Jika sudah muncul rasa cinta, maka muncul kreasi, inovasi dan instrumen-instrumen lainnya yang membuat budaya dan kebudayaan tersebut menjadi tidak ditinggalkan oleh pewarisnya. Selain itu juga, secara bersamaan akan lahir kritik oto kritik terhadap diri dan kebudayaannya sendiri, seperti yang saya lakukan dalam buku puisi Marhajabuan ini,” tandasnya. (Dantho)