Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Joko Widodo menyatakan “bencana non-alam yang diakibatkan oleh penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional.” Pernyataan tersebut dikutip dari Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020.
Keputusan ini berlaku efektif per Senin (13/4/2020), sebagaimana bunyi poin terakhir peraturan tersebut. Keppres tersebut menegaskan kembali penanggulangan COVID-19 dilaksanakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sebagaimana yang disebut dalam Keppres 7 Tahun 2020 yang diubah dengan Keppres Nomor 9 Tahun 2020.
Peraturan tersebut juga menyatakan gubernur, bupati dan wali kota sebagai kepala gugus tugas daerah diberikan wewenang untuk menetapkan kebijakan daerah masing-masing, tetapi “harus memperhatikan kebijakan pusat.”
Berdasarkan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, COVID-19 dikategorikan ‘bencana nonalam’, yaitu “bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”
Dalam Pasal 7 peraturan tersebut, indikator bencana nasional adalah jumlah korban; kerugian; kerusakan prasarana dan sarana; cakupan wilayah; serta dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan.
Saat ini COVID-19 telah menyebar ke seluruh provinsi. Per 13 April, jumlah pasien positif telah mencapai 4.557, dengan angka kematian 399. Dampak ekonominya pun begitu terasa. Para pekerja, misalnya, dirumahkan. Ada juga yang di-PHK.
Sebelum COVID-19, pemerintah pernah mengeluarkan status bencana nasional saat Tsunami Aceh 2004. Setelah itu pemerintah belum pernah lagi mengeluarkan status serupa, menurut almarhum Sutopo Purwo Nugroho saat menjabat Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB.
Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto mengatakan dengan ditetapkannya Covid-19 sebagai bencana nasional maka tanggungjawab dan kontrol penanganannya langsung berada di tangan Presiden Jokowi. Mulai dari Aceh sampai Papua.
“Konsekuensi dari itu bebannya ada di pusat. Misalnya beban anggaran, koordinasinya, penanggulangannya, berarti Pak Jokowi yang langsung memimpin,” kata Yandri Susanto saat dihubungi, Selasa (14/4/2020).
Lebih lanjut Yandri mengatakan bahwa hal ini artinya Covid-19 merupakan bencana yang serius. Oleh karena itu penanganannya harus serius, jangan setengah-tengah. Misalnya penanganan korban termasuk yang terdampak, bukan yang terpapar, orang usaha yang tidak bisa berjualan, buruh yang kena PHK tidak punya pekerjaan, sebut Yandri, harus diperhatikan karena ini bencana nasional non alam.
“Dampaknya tentu tidak pada batas-batas tanah longsor, kebakaran hutan dan sebagainya, ini mencakup semua sendi kehidupan,” jelasnya.
Sebab itu juga, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini meminta pemerintah imemastikan orang-orang yang benar miskin, jatuh miskin, penanganannya harus tepat sasaran. “Tidak boleh ada unsur politik, suku, partai, itu tidak boleh lagi karena ini bencana nasional, sama penanganannya. Karena itu penanganannya diambil langsung oleh Presiden,” ujarnya.
Bantuan Ditambah
Sekretaris Fraksi PAN di DPR ini mengungkapkan khusus di DKI Jakarta sebelum Presiden Jokowi mengumumkan Covid-19 sebagai bencana nasional, Komisi VIII sudah mengadakan rapat kerja dengan Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara minggu lalu. Mensos dalam raker tersebut menyatakan pemerintah menyalurkan 200 ribu paket sembako di DKI Jakarta.
Menurut Yandri, jumlah tersebut sangat sedikit dan jauh dari harapan bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Jakarta dan sekitarnya. Hal itu yang membuat bantuan sosial yang dikeluarkan pemerintah tidak merata pembagiannya.
“Kalau masih banyak warga yang terpapar belum tersentuh bantuan, itu di data melalui RT/RW atau masih kurang bantuannya maka ditambahkan saja,” kata Yandri.
Legislator dari daerah pemilihan Banten II (Serang, Kota Cilegon, Kota Serang) ini juga meminta dana-dana yang bisa ditunda pemakaiannya, seperti pemindahan Ibu Kota termasuk pembangunan jembatan, pembangunan jalan-jalan baru ditunda, dihentikan.
“Jadi semua kementerian/lembaga, TNI/Polri, harus bersatu padu dalam relokasi anggaran dan rekofusing kegiatan. Maka kalau ada warga yang benar-benar harus mendapatkan bantuan, kalau masih ada yang tercecer, pos pengaduan atau pusat-pusat data yang langsung berdekatan dengan masyarakat, itu sebaiknya dibuka oleh pemerintah,” paparnya.
Penyaluran anggaran bantuan sosial rawan disalahgunakan. Yandri meminta apabila hal itu terjadi maka segera dilaporkan ke penegak hukum.
“Itu sudah jelas. Tidak boleh ada pihak, oknum, individu, organisasi, atau siapa pun tidak boleh ada yang bermain atau menari di atas penderitaan orang lain. Ini tidak boleh ada penyalagunaan. Kalau ada buktinya, itu harus diviralkan ke publik dan dilaporkan ke Polisi,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby