Polemik endorse Bipang Ambawang di musim mudik lebaran 2021, adalah contoh kali kesekian, presiden Jokowi khilaf dalam dalam komunikasi publiknya. Hal ini bukan 100% kesalahan presiden, tapi akibat bobroknya manajemen public relation (PR) di dapur istana.
Saya menilai, ini bukan murni kesalahan teks dan data, tapi lebih dari itu, ditengarai adanya anasir-anasir politik jahat oleh orang-orang dalam dapur istana untuk men-downgrade presiden Jokowi atau anasir-anasir politik dari dalam dapur istana untuk mendulang keuntungan politik dengan tujuan tertentu.
Presiden kerap disuguhi data dan narasi yang tidak valid secara data dan konteks. Semestinya, pembuat naskah himbauan/pidato presiden di dapur protokoler presiden lebih hati-hati memilih diksi dan konteksnya dalam komunikasi publik presiden.
Mudik lebaran, secara sosiologis adalah tradisi umat Islam Indonesia. Mau cari literatur dimanapun, penjelasannya seperti ini—bahwa mudik lebaran adalah tradisi umat Islam Indonesia. Oleh sebab itu, materi himbauan dari presiden yang dibuat orang-orang di sekitar istana harus tepat diksi dan konteks.
Jika salah diksi dan konteks, maka akan menimbulkan kegaduhan yang tidak produktif. Memantik sisi-sisi sensitif terkait sosial keagamaan. Lagi-lagi, presiden yang kena batunya dan mengalami blunder akibat kelalaian dapur istana.
Ini cuma contoh dari sekian kesalahan data lapangan dan narasi oleh pihak dapur istana yang acap kali men- downgrade presiden Jokowi di mata publik. Ada semacam anasir-anasir jahat untuk merusak public relation istana, merusak kredibilitas presiden dan menciptakan kegaduhan demi mendapatkan keuntungan politik tertentu.
Contoh lain misalnya, di tahun 2019, presiden Jokowi disuguhi data yang salah tentang konflik agraria. Presiden mengatakan tak ada lagi konflik agraria dalam kuru 4,5 tahun terakhir. Sementara data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut pada 2018 saja tercatat 807,17 ribu ha lahan di Indonesia mengalami konflik.
Kesalahan lain misalnya, presiden disodorkan data realisasi anggaran Menkes yang salah. Kepada media presiden katakan, anggaran Kemenkes 2020 adalah Rp.75 triliun tapi baru realisasi 1,53 %. Besoknya data ini dibantah pimpinan DPR komisi IX, dan ternyata realisasi anggaran di Kemenkes sudah 47,49%, bukan 1,53%. Atas kesalahan data presiden tersebut, Menkes benar-benar di-bully publik yang tentu ikut menurunkan kredibilitas presiden dan pemerintahan.
Demikian pula Perpres yang kerap melahirkan kontroversial, karena presiden tidak di-brief lebih dahulu sebelum minta di teken Perpres tersebut. Contoh kasus Perpres Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara Untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Disini presiden tidak di- brief lebih dahulu sebelum diminta teken Perpres tersebut. Akibatnya presiden lagi yang kena blunder di publik.
Mis-informasi antara menteri selaku pembantu presiden dengan presiden sendiri pun kerap terjadi. Misalnya, soal rencana menteri perdagangan impor beras 2021. Padahal data neraca beras nasional dan data stok beras di gudang Perum Bulog, masih over stock. Ini juga menimbulkan kegaduhan di publik Akhirnya presiden sendiri yang membatalkan rencana tersebut atas desakan publik.
Kalau dirunut-runut, mayoritas blunder politik yang kerap menimpa presiden, tak luput dari amburadulnya manajemen dapur istana. Untuk hal-hal sepele dan teknis seperti data saja, kesalahannya terjadi berulang kali oleh manajemen dapur istana. Dan itu sangat fatal dan merugikan istana; terutama presiden.
Saya menilai, seringnya keteledoran komunikasi publik istana yang menimbulkan kegaduhan ini, mengesankan, ada otak-otak kotor di sekitar istana yang perlu dibasmi. Merekalah yang paling bertanggung jawab atas semua kegaduhan yang disebabkan oleh kesalahan data dan informasi yang disuguhkan kepada presiden Jokowi.
Ahmad Yohan
Anggota Komisi XI DPR Fraksi PAN