Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay tidak sepakat dengan himbauan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio kemarin yang mendorong publik figur dan pejabat publik yang kerap tampil di televisi untuk melakukan deklarasi diri seandainya mereka positif terjangkit virus corona atau Covid 19.
Pasalnya, kata Saleh, ketentuan menjaga kerahasiaan pasien telah diatur di dalam Undang-Undang (UU). UU yang berkaitan dengan kerahasiaan medis diatur dalam 4 undang-undang (UU), yaitu pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 7 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 38 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Pasal 73 UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
“Jika ada keinginan untuk membuka data pasien, silahkan buka lagi beberapa UU terkait. Baca lagi secara seksama batasan-batasan data pasien yang mungkin bisa dipublikasi ke publik,” ujar Saleh Daulay dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/3/2020).
Meskipun ada aturan tentang menjaga kerahasiaan data pasien, lanjut Saleh, dalam kondisi-kondisi tertentu ada kelonggaran. Misalnya, ketentuan pasal 57 ayat (1) UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Akan tetapi, pada pasal 57 ayat (2) hak atas kerahasiaan itu dikecualikan salah satunya demi kepentingan masyarakat.
“Saya kira, UU 48 dan Permenkes 269/2008 memberikan peluang untuk membuka data pasien dengan berbagai ketentuan di atas. Selain itu, demi kepentingan penelitian dan pendidikan, data pasien bisa juga dibuka ke publik,” katanya.
Menurut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini, perlu juga membaca ketentuan Pasal 48 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi, “Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.”
Selanjutnya pada Pasal 10 ayat (2) Permenkes 269/2008 disebutkan bahwa informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal: untuk kepentingan kesehatan pasien; memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri; permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.
“Kalau hanya menyebutkan daerah-daerah tempat pasien tinggal, saya kira tidak masalah. Yang tidak boleh itu jika data lengkap pasien dibuka secara luas ke publik. Itu akan mendatangkan masalah bagi pasien, karena bisa jadi akan ada semacam stigma yang tidak baik. Kecuali, jika pasiennya dengan sukarela mau mengungkap identitasnya. Itu sangat baik dan dianjurkan,” paparnya.
“Data pasien ini kan dibutuhkan bukan untuk melabelisasi dan menyudutkan pasien. Itu dibutuhkan agar masyarakat mengetahui gerak dan persebaran virus ini. Dengan begitu, semua pihak bisa mengantisipasi dan menghindari. Kalau semua pihak dapat menghindari, tentu itu juga adalah bagian dari memenuhi kepentingan kesehatan pasien dan keluarganya,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby