Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, menyampaikan keprihatinan atas potensi perubahan status Indonesia dari negara eksportir menjadi importir gas alam.
Ia menilai kondisi ini merupakan ironi yang disebabkan kegagalan era sebelumnya dalam pembangunan infrastruktur, bukan karena cadangan gas yang menipis.
Amin mendesak kementerian terkait untuk mendukung PT Pertamina dan PT PGN dalam mempercepat pembangunan jaringan penyaluran gas hingga ke konsumen akhir.
Menurutnya, keterlambatan dan minimnya infrastruktur, seperti jaringan pipa gas, membuat distribusi gas tidak efisien dan mendorong ketergantungan pada impor.
“Ini ibarat kita punya ponsel, tapi tidak punya charger. Gas kita melimpah, tapi industri kesulitan akses karena tidak ada pipanya,” ujar Amin dalam siaran persnya, Selasa (24/6/2025).
Ia menyoroti beberapa proyek strategis seperti pipa Jawa-Sumatera, Kalimantan-Jawa, dan jaringan gas Indonesia Timur yang terbengkalai atau lambat dibangun. Ketergantungan pada pengangkutan LNG/CNG untuk jarak pendek juga dinilai tidak efisien dan mahal.
Amin mengingatkan, tanpa percepatan pembangunan, Indonesia bisa benar-benar menjadi negara pengimpor gas dalam jangka panjang.
Ia memaparkan bahwa kebutuhan gas nasional mencapai 2.000–2.500 BBTUD pada 2024, dan akan terus tumbuh sekitar 3–5% per tahun, seiring meningkatnya kebutuhan industri, pembangkit listrik, dan sektor lainnya.
Padahal, cadangan gas terbukti masih sangat besar, sekitar 43 triliun kaki kubik (TCF), dengan kapasitas produksi mencapai 5.900 BBTUD.
Namun, realisasi produksi hanya sekitar 4.200–4.500 BBTUD karena penurunan produksi di lapangan tua dan proyek yang tertunda.
Kekurangan infrastruktur membuat Indonesia terus meningkatkan impor LNG. Data menunjukkan, impor gas naik tajam dari 3,5 juta ton (2020) menjadi 7,5 juta ton (2024). Bahkan, tahun lalu nilai impor diperkirakan mencapai USD 3,5 miliar.
Untuk mengatasi persoalan ini, Amin mendorong dilakukannya percepatan pembangunan dan revitalisasi jaringan pipa transmisi dan distribusi strategis nasional.
Penting juga dilakukan peningkatan investasi sektor hulu, dengan jaminan hukum dan kebijakan harga yang adil.
Tak hanya itu, Ia juga meminta ada penguatan kewajiban pasokan domestik (DMO) dalam kontrak baru.
Terakhir, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR ini mendorong prioritas alokasi gas untuk industri padat karya dan pembangkit dalam negeri, sebelum diekspor.
“Lebih baik gas kita digunakan untuk menggerakkan industri dan menciptakan lapangan kerja, daripada diekspor tanpa memberi nilai tambah dalam negeri,” tegas Amin.