PANGKALPINANG, JURNALBABEL.COM– Uskup Keuskupan Pangkalpinang Mgr. Prof. Dr. Adrianus Sunarko, OFM diangkat sebagai profesor oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) melalui Surat Penetapan Kenaikan Jabatan Akademik/ Fungsional Dosen yang dikeluarkan pada 1 November 2018.
Perolehan angka kredit Profesor Adrianus Sunarko seperti tertuang dalam surat bernomor 49862/A2.3/KP/2018 tersebut, sebesar 851,50 dari 850 dan telah memenuhi syarat untuk diberikan kenaikan jabatan.
Merespon jabatan profesor teologi pada unit kerja Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta itu, Uskup Adrianus menyampaikan, jabatan yang disandangnya merupakan jawaban atas perjalanan panjang selama ini sebagai dosen (sebelum jadi uskup) yang meliputi 3 aspek diantaranya pengajaran (memberi kuliah), penelitian (diungkapkan lewat buku dengan mendalami topik tertentu yang dipublikasikan), serta pengabdian masyarakat.
“Jadi pengakuan sebagai profesor mencakup itu. Disyaratkan bahwa dari 3 aspek itu memenuhi kriteria jumlah tertentu. Harapannya adalah di satu pihak sudah diakui lewat pengabdian pada masyarakat, sudah mengajar, dan sudah membuat penelitian-penelitian yang tentunya ke depan terus dilanjutkan ketiga dimensi itu,” kata Uskup Adrianus Sunarko ditemui di Pangkalpinang, Selasa (27/11-2018).
Mantan Minister Provinsi Ordo Fratrum Minorum (OFM) Indonesia ini mengakui, Gelar profesor yang diberikan Kemenristek Dikti kepadanya merupakan sebuah pengakuan tapi juga tanggungjawab untuk semakin memberi sesuai bidang teologi.
“Tantangannya adalah tanggungjawab, ini lebih berat,” katanya diwawancarai Jurnalbabel.com.
Meski disibukan dengan beragam tugas pelayanan yang super padat, Uskup kelahiran Merauke, Papua, 1966 tersebut mengaku sulit baginya untuk terus mengembangkan tiga aspek tadi karena dari segi waktu sudah terbagi.
“Namun yang akan terus saya lakukan adalah pengabdian pada masyarakat. Memang waktunya harus diatur baik-baik,” imbuhnya.
Lebih jauh monsegniur Adrianus Sunarko menjelaskan, praktek teologi dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural adalah bagaimana agama menempatkan diri dalam demokrasi modern yang masyarakatnya plural seperti Indonesia.
“Jadi problem dialog antar agama, hubungan antar agama dan negara, agama dan kekerasan. Ini isu-isu yang untuk Indonesia sangat menantang. Tapi, kita punya modal sangat bagus dengan Pancasila yang menempatkan keberagaman, tidak menyingkirkan agama tapi juga bukan teokrasi,” akunya.
Terkait ini, profesor lulusan S-3 Universitas Albert Ludwig, Freiburg, Jerman itu menilai perlu kajian mendalam untuk menunjukan dimana sebenarnya kaum beragama menempatkan diri secara tepat dalam pengembangan negara demokrasi.