Jakarta, JurnalBabel.com – Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja akhir tahun lalu diteken Presiden Jokowi. Secara normatif, Perppu tersebut dibawa ke DPR di masa sidang berikutnya untuk diterima atau ditolak. Perppu tersebut didorong untuk ditetapkan DPR menjadi undang-undang (UU). Setelah Perppu diterima, DPR dan Presiden didorong untuk melakukan perubahan (legislative review) terhadap UU Cipta Kerja.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Ferdian Andi, mendorong DPR untuk menerima Perppu N0 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang diteken Presiden Jokowi pada akhir Desember lalu.
“Kami mendorong DPR untuk menerima Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Karena realitas politik di parlemen, tidak mungkin Perppu itu ditolak oleh DPR,” kata Ferdian di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Pengajar HTN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini menyebutkan setelah Perppu ditetapkan menjadi UU tentang Penetapan Perppu, DPR dan Presiden harus berkomitmen untuk merespons aspirasi yang muncul di publik.
“Setelah Perppu diterima DPR, harus ada gentlement agreement antara DPR dan Pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU tersebut melalui mekanisme legislative review,” saran Ferdian.
Perubahan terhadap UU tentang Penetapan Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja itu untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan meaningful participation (partisipasi bermakna) dalam penyusunan UU termasuk membahas substansi norma dalam UU Cipta Kerja yang banyak mendapat kritik dari publik.
“Kami lebih mendorong dibukanya kembali percakapan publik di parlemen atas pembahasan perubahan UU Cipta Kerja ini. Substansi yang hilang dalam UU Cipta Kerja sejak awal tak lain soal partisipasi publik. Ini yang harus dikembalikan oleh DPR dan Presiden,” tegas Ferdian.
Meski demikian, Ferdian tak menampik terdapat mekanisme yang dapat ditempuh dengan melakukan uji materi terhadap Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja di Mahakamah Konstitusi (MK).
“Ada instrumen lain dalam merespons Perppu Cipta Kerja ini dengan melakukan uji materi di MK. Tapi esensi dari UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja tak lain soal absensnya percakapan antara negara dan warga negara di Cipta Kerja ini. Poin ini yang harus dihadirkan dalam Cipta Kerja ini,” tegas Ferdian.
Sejumlah catatan kritis terhadap Perppu Cipta Kerja ini menjadi catatan penting bagi DPR dan Pemerintah untuk mengembalikan persoalan Cipta Kerja ke dalam perdebatan konstitusional.
“Realitas politiknya, Perppu telah diteken oleh Presiden. Ruang yang tersedia tak lain DPR menerima Perppu tersebut yang selanjutnya direvisi sebagai respons atas putusan MK dan aspirasi yang muncul dari publik. Ini kesempatan baik bagi DPR dan Presiden untuk menghadirkan Cipta Kerja dalam ruang publik yang demokratis,” pungkas Ferdian. (Bie)