Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat, Mohamad Muraz, menyoroti banyaknya praktik politik uang atau money politics menjelang Pemilu.
Menurutnya, pada dasarnya praktik itu termasuk pelanggaran Pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Namun, hal itu sulit dibuktikan sebagai kejahatan pidana.
“Memang money politics ini harus TSM, tapi sebenarnya sulit dibuktikan. Tapi kan selalu saja muncul begitu kan laporan-laporan itu,” kata Muraz dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/11/2022).
Bukan tanpa sebab, Muraz menilai sulitnya pembuktian karena aturan mengenai hal itu berubah-ubah setiap waktu. Ia mencontohkan, pada Pemilu 2019, setidaknya aturan itu berubah tiga kali.
“Pada awal, caleg (calon legislatif) boleh memberi uang transport Rp 50.000, maksimal. Kemudian, berubah jadi Rp 30.000, kemudian jadi tidak boleh,” ujar Muraz.
“Nah ini kan ubah-ubah pak, ada yang tahu, ada yang enggak. Akhirnya, ada yang kasih uang Rp 30.000, ada yang dilaporkan. Nah ini tahun 2024 akan seperti apa?” tambahnya.
Kendati demikian, Muraz mengingatkan bahwa aturan tersebut harus jelas mengakomodasi hukum adat atau living law di masyarakat.
“Living law-nya saya kira, ketika kampanye, orang enggak datang, masyarakat enggak datang kalau enggak dikasih transport. Jadi harus jelas ini pengaturannya. Kita menetapkan aturan, tapi enggak bisa dilaksanakan di masyarakat,” kata mantan Wali Kota Sukabumi ini. (Bie)
Sumber: kompas.com