Jakarta, JurnalBabel.com – Ketua Komisi VIII DPR, Ashabul Kahfi, meminta Kementerian Agama (Kemenag) membina Pondok Pesantren atau Ponpes Al-Zaytun secara khusus, pasca pimpinannya Panji Gumilang ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama dan ditahan usai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri pada Selasa (1/8/2023).
Menurutnya, hal itu agar kegiatan di Ponpres yang berlokasi di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat itu tetap berjalan.
“Terkait pesantren Al-Zaytun, kami yakin Kementerian Agama akan tetap membina pesantren tersebut di bawah pembinaan khusus, sehingga kegiatan pesantren bisa tetap berjalan dengan baik,” kata Ashabul Kahfi Kamis,(3/8/2023).
Ia mengaku yakin Bareskrim Polri memiliki bukti menetapkan Panji Gumilang sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama. Pasalnya, tegas dia, polisi tidak mungkin sembarangan menetapkan seseorang sebagai tersangka.
“Kami mendukung tindakan polisi dalam menetapkan Panji Gumilang sebagai tersangka kasus penodaan agama. Tentu, polisi tidak sembarang menjadikan seseorang tersangka tanpa bukti pendahuluan yang cukup,” ujarnya.
Ketua DPW PAN Sulawesi Selatan ini juga percaya proses hukum terhadap Panji Gumilang akan berlaku dengan adil dan transparan.
Ia juga berharap pihak berwenang dapat memberikan kepastian hukum terhadap Panji Gumilang sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Sebelumnya,Panji Gumilamg ditahan di Rutan Bareskrim Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sejak Rabu (2/8/2023) hingga 20 hari ke depan, yakni 21 Agustus 2023.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan penahanan dilakukan setelah penyidik menetapkan Panji sebagai tersangka dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
“Bahwa setelah ditetapkannya Saudara PG sebagai tersangka pada 1 Agustus 2023, penyidik telah melakukan pemeriksaan PG sebagai tersangka,” kata Ramadhan kepada wartawan, Rabu (2/8/2023).
Panji Gumilang dijerat dengan Pasal 14 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan atau Pasal 45a Ayat 2 Juncto Pasal 28 Ayat 2 UU ITE dan atau Pasal 156a KUHP dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara.
(Bie)