Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) Muhammad Aras meminta Presiden Jokowi turun tangan untuk memutuskan pelarangan ojek online (Ojol) membawa atau mengangkut penumpang. Pasalnya, terdapat dua kebijakan yang tidak sinkron antara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait pelarangan tersebut sebagai upaya pencegahan virus corona atau Covid-19 di tanah air.
Kebijakan yang dimaksud yakni Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19, yang sudah ditetapkan oleh Menhub Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan pada 9 April 2020 lalu.
Dalam Permenhub tersebut diatur mengenai pengendalian transportasi pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai PSBB, seperti Jakarta, di mana disebutkan bahwa untuk sepeda motor baik yang digunakan untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan masyarakat (ojek), dalam hal tertentu dapat mengangkut penumpang dengan syarat-syarat yang ketat sesuai dengan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19.
Sementara, sebelumnya Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Layanan transportasi Ojol menjadi salah satu yang diatur dalam Permenkes PSBB ini. Bila suatu daerah menerapkan status PSBB, maka ojol masih diperbolehkan untuk beroperasi. Namun, hanya untuk mengirim barang, bukan penumpang.
Hal itu termuat dalam lampiran penjelasan Pasal 13 tentang peliburan tempat kerja dalam Permenkes PSBB. Pasal tersebut berbunyi “Layanan ekspedisi barang, termasuk sarana angkutan roda dua berbasis aplikasi dengan batasan hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang.”
“Pemerintah harus sinkron dalam mengeluarkan kebijakan. Ini harus dikembalikan kepada Presiden untuk memutuskan itu. Soalnya sudah jelas kita lagi social distancing, artinya harus jaga jarak. Bagaimana jaga jarak kalau itu diperbolehkan Ojol bawa penumpang?,” kata Muhammad Aras saat dihubungi di Jakarta, Minggu (12/4/2020).
Menurutnya, Ojol yang termasuk diprioritaskan oleh pemerintah untuk mendapatkan bantuan. Sebab itu, ia menegaskan bahwa Presiden harus mengambil alih kebijakan pelarangan Ojol membawa penumpang agar tidak terjadi tumpah tindih kebijakan yang satu dengan yang lain.
“Kita tidak dalam menyatakan keliru atau tidak Permenhub ini. Itu harus dikembalikan kepada Presiden untuk mengambil kebijakan. Yang pasti hari ini untuk instruksi social distancing dan psycal distancing kan tidak sesuai dengan Permenhub itu,” tegasnya.
Dalam Permenkes sebanyak 28 halaman itu tidak mengatur ojek pangkalan atau opang, baik dalam hal pembatasan moda transportasi, apalagi peliburan tempat kerja karena opang bukan perusahaan. Padahal, yang membedakan ojol dan opang hanya pada aplikasi. Sementara, situasi potensi penyebaran corona di transportasi roda dua itu sama saja.
Menurut Muhammad Aras, seharusnya Permenkes tersebut tidak ada pengecualian. Pasalnya, lanjut dia, social distancing sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai upaya pencegahan Covid-19.
“Artinya bagaimana pun pemerintah harus bertanggungjawab tentang bagaimana menyiapkan makanan untuk mereka agar turut serta dalam menyelesaikan persoalan ini. Minimal ya social distancing dan psysical distancing,” katanya.
Legislator dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan ini menambahkan pihaknya akan memanggil Menhub atas masalah ini. “Ini pasti kita sampaikan dalam RDP dengan Menhub atau raker nanti. Besok baru kita jadwalkan,” pungkasnya.
Bikin Rumit
Dihubungi terpisah, Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Irwan, menilai Permenhub tersebut tidak diperlukan. Pasalnya, peraturan tersebut telah bertabrakan dengan regulasi PSBB yang saat ini tengah berjalan di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Menurut Irwan, PSBB telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Regulasi ini telah mengatur bahwa pembatasan sosial berskala besar telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan usulan pemerintah daerah. Oleh sebab itu, Permenhub ini hanya akan menciptakan aturan yang tumpang tindih.
“Peraturan Menteri Perhubungan tentang pengendalian transportasi cegah penyebaran covid-19 justru makin membuat mekanisme PSBB oleh pemerintah daerah ini makin rumit. Pembatasan sosial berskala besar cukup diatur oleh satu peraturan menteri yaitu peraturan Menteri Kesehatan,” kata Irwan.
Kementerian Perhubungan mengatur pengendalian transportasi untuk tiga aspek besar, salah satunya adalah pengendalian transportasi di wilayah buang berstatus PSBB. Menurut Irwan, Permenkes yang lebih dahulu mengatur PSBB sudah memasukkan aturan mengenai pengendalian transportasi, termasuk ojol. Kalau pun ingin ditambahkan aturan, maka lebih pantas membuat aturan yang setingkat dibawah Permenkes tersebut.
“Jikapun Kementerian Perhubungan mau membantu daerah yang sudah ditetapkan PSBB, maka Kemenhub dapat keluarkan surat edaran sesuai dengan materi teknis dari Peraturan Gubernur terkait PSBB di masing-masing daerah, termasuk Jabodetabek,” ujarnya.
Legislator dari daerah pemilihan Kalimantan Timur ini juga menilai isi Permenhub tersebut tidak menunjukkan aturan yang tegas untuk membatasi pembatasan sosial berskala besar demi menunjang pencegahan virus. Justru, kata Irwan, peraturan tersebut lebih terlihat bagaimana Kemenhub ingin memastikan semua transportasi darat, laut dan udara tetap beroperasi selama PSBB.
“Bisa saja antar peraturan menteri itu tidak senafas dalam tafsiran dan terapannya. Makanya saya bilang harusnya peraturan menteri yang mengatur PSBB itu hanya satu. Kalau banyak peraturan menteri kan bikin rumit pemerintah daerah yang melakukan PSBB,” ujarnya.
“Contohnya adalah, Permenhub ini mementahkan Permenkes No 9/2020 dan Pergub PSBB DKI Jakarta yang melarang kendaraan roda dua berbasis aplikasi untuk mengangkut penumpang, kecuali barang,” sambungnya menandaskan. (Bie)
Editor: Bobby