Jakarta, JurnalBabel.com – Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (22/09/2022). Agenda sidang perkara Nomor 70/PUU-XX/2022 adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah.
DPR melalui Anggota Komisi III DPR Supriansa menanggapi permohonan para Pemohon yang merasa mengalami kerugian konstitusional karena memasuki masa pensiun tanpa mendapatkan haknya.
Menurut DPR, Masa Persiapan Pensiun (MPP) merupakan masa dibebastugaskannya pegawai dari tugasnya dan oleh karenanya justru bertentangan dengan alasan para Pemohon yang ingin berkarir dan mengembangkan dirinya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Peraturan BKN Nomor 2 Tahun 2019, persiapan pensiun terdiri atas gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan pangan, tanpa disertai dengan adanya tunjangan kinerja.
Selain itu, pengajuan MPP bukan merupakan kewajiban, tetapi hak dari para Pemohon atau optional. Jika ketentuan pengaturan mengenai batas usia pensiun jaksa tetap seperti semula 62 tahun, hal tersebut tidak menjamin bahwa para Pemohon pasti akan mengajukan MPP mengingat hak-hak yang akan diterima para Pemohon tidak perlu seperti selama para Pemohon bekerja sebagai jaksa. Hak pegawai merupakan tunjangan kinerja dan tunjangan fungsional justru dihapuskan ketika pegawai mengambil MPP.
“Hal tersebut bertentangan dengan alasan Para Pemohon untuk memperoleh penghasilan dengan ditambahkannya masa pensiun. Oleh karenanya, dalil para Pemohon tersebut adalah dalil yang kurang berdasar untuk diajukan sebagai alasan untuk mengajukan pengujian pasal a quo,” jelas Supriansa secara daring kepada majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Pemberhentian Jaksa Usia 60 Tahun
DPR berpandangan, Pasal 40A UU Kejaksaan telah memenuhi tujuan dari adanya ketentuan peralihan sesuai dengan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini karena pasal a quo telah menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Adapun mengenai pemberhentian jaksa yang berusia 60 tahun atau lebih, tetap mengikuti ketentuan batas usia tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Ketentuan ini telah sesuai dengan pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 9/PUU-IV/2006, yaitu ketentuan peralihan mestinya memuat asas hukum mengenai hak-hak yang diperoleh sebelumnya untuk diakui. Oleh karena itu, berlakunya Pasal 40 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tidak bertentangan dengan tujuan dari ketentuan peralihan,” urai Supriansa.
Selain itu, DPR berpandangan bahwa berlakunya Pasal 40A UU Kejaksaan tidak memiliki pertautan dengan jumlah jaksa dari Kejaksaaan RI. Persoalan kekurangan sesungguhnya dapat diatasi dengan melakukan rekrutmen jaksa baru dalam periode berkala, bukan menambah batas usia pensiun jaksa yang sudah ada. Persoalan kuantitas, menurut DPR, tidak selalu menjamin efektivitas dan produktivitas kinerja suatu institusi.
“Sehingga pengaturan terhadap batas usia pensiun tidak akan menghambat kinerja institusi Kejaksaan Republik Indonesia. Jika pengaturan mengenai ketentuan pasal a quo dinilai menghambat kinerja Kejaksaan Republik Indonesia, maka pembahasan mengenai ketentuan pasal a quo tidak akan disetujui oleh Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi institusi Kejaksaan Republik Indonesia yang ikut membahas undang-undang a quo bersama-sama dengan pembentuk undang-undang,” tegas politisi Partai Golkar ini.
Sebagai informasi, permohonan Nomor 70/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil UU Kejaksaan diajukan oleh enam orang jaksa. Mereka adalah Irnensif (Pemohon I), Zulhadi Savitri Noor (Pemohon II), Wilmar Ambarita (Pemohon III), Renny Ariyanny (Pemohon IV), Indrayati Siagian (Pemohon V), dan Fahriani Suyuthi (Pemohon VI). Adapun materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 40A UU Kejaksaan.
Pasal 40A UU Kejaksaan menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemberhentian Jaksa yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lernbaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401).”
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (19/7/2022), Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan berlakunya UU Kejaksaan mengakibatkan kerugian pada para Pemohon. Pemohon I genap berusia 60 tahun pada 1 Maret 2022. Pemohon II genap berusia 60 tahun pada 3 Maret 2022. Pemohon III genap berusia 60 tahun pada 16 April 2022. Berdasarkan norma tersebut, Pemohon I-III terkena dampak langsung memasuki masa pensiun.
“Selain itu, berlakunya norma a quo telah menghambat karir dan prestasi kenaikan jabatan bagi Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III,” kata Viktor.
Begitu pula Pemohon IV dan Pemohon V yang mempunyai kepentingan yang sama sebagai jaksa. Pemohon IV akan genap berusia 60 tahun pada 24 November 2022. Pemohon V akan genap berusia 60 tahun pada 24 Oktober 2022.
Berdasarkan ketentuan UU Kejaksaan tersebut, lanjut Viktor, Pemohon IV dan Pemohon V akan dipaksa berhenti dengan hormat. Ketentuan tersebut menghambat karir dan prestasi kenaikan jabatan Pemohon IV dan V .
“Dengan ketentuan tersebut, para Pemohon tidak mendapat jaminan dan perlindungan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, sebagai warga negara juga tidak memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945,” tandas Viktor. (Bie)
Sumber: mkri.id