Jakarta, JurnalBabel.com – DPR RI menilai pulau-pulau kecil diperbolehkan untuk kegiatan pertambangan setelah memenuhi seluruh persyaratan peraturan perundang-undangan.
Hal ini disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto selaku perwakilan DPR RI dalam sidang lanjutan perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023, terkait Uji Materiil UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (5/12/2023).
Uji materiil UU PWP3K ini diajukan oleh perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) yang beroperasi di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.
Pemohon mengajukan judicial review atas Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K. Pasal tersebut ditafsirkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai larangan mutlak terhadap kegiatan penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau kecil. Padahal, pemohon telah memiliki izin sah dan diterbitkan instansi berwenang untuk melakukan penambangan nikel di wilayah tersebut.
Menurut Wihadi, frasa ‘dikuasai negara’ dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, harus mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas, yang menganut konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala kekayaan bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya.
“UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Wihadi dalam sidang lanjutan MK tentang judicial review UU PW3PK.
Dia juga menegaskan, penjelasan mengenai kata ‘diprioritaskan’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K, agar tidak dimaknai sebagai larangan mutlak.
Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K berbunyi “Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut: konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; pertanian organik; peternakan; pertahanan dan keamanan negara”.
“Secara gramatikal, kata ‘diprioritaskan’ dalam pasal tersebut diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu diutamakan atau didahulukan dari yang lain. Karena itu, kegiatan yang diprioritaskan harus didahulukan dibanding kegiatan lain selain kegiatan prioritas. Kata ‘diprioritaskan’ tidak dapat diartikan sebagai larangan mutlak untuk kegiatan lain selain kegiatan prioritas. Dalam hal ini terkait kegiatan pertambangan di pulau kecil,” terang Wihadi.
Pengelolaan pulau kecil diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 8/Permen-KP/2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km2 yang sudah diubah dalam Permen KP No. 53/Permen-KP/2020 Tahun 2020.
Menurut Wihadi, mengacu pada Permen KP No. 8/Permen-KP/2019, pemanfaatan pulau kecil dan perairan di sekitarnya tidak hanya terbatas pada apa yang disebut dalam ketentuan tersebut. Tapi, lanjutnya, dimungkinkan adanya pemanfaatan dan kegiatan lainnya, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk kegiatan pertambangan mineral.
“Dengan demikian tidak terdapat larangan untuk melakukan kegiatan pertambangan mineral dan batu bara di pulau-pulau kecil dengan luas mulai 100 km2 hingga 2.000 km2,” kata Wihadi.
Wihadi juga turut menguraikan penilaian hukumnya atas Pasal 35 huruf k UU PWP3K. Pada dasarnya, kegiatan penambangan diperbolehkan selama tidak menimbulkan kondisi-kondisi sebagaimana yang dicantumkan dalam ketentuan pasal tersebut.
Pasal 35 huruf k UU PWP3K berbunyi “Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: (huruf k) melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya”.
“Kegiatan pertambangan mineral di wilayah pulau-pulau kecil dan perairan di wilayah di sekitarnya diperbolehkan, asalkan telah memenuhi berbagai persyaratan,” tegasnya.
Wihadi melanjutkan, selain yang disebutkan tadi, ada pula persyaratan, seperti tercantum dalam RZWP3K [Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil], memiliki izin usaha, memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan tata kelola air dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, memenuhi syarat luas wilayah yaitu di atas 100 km2 hingga 2.000 km2. (Bie)
Sumber: rm.id