Jakarta, JurnalBabel.com – Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta pandangan dari DPR terkait kompensasi korban yang mengalami kasus pidana daluwarsa.
Menurutnya, negara tetap harus mengambil peran bagi korban-korban yang serupa dengan Pemohon. Karena kasus yang dialami Pemohon, Tersangka sudah ada dan tertangkap di kemudian hari, namun terbentur dengan masa daluwarsa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga kasus tidak bisa diadili.
Untuk itu, Majelis Hakim Konstitusi membutuhkan pandangan DPR terkait hal tersebut. Hal ini disampaikan oleh usai mendengar keterangan DPR terkait uji aturan daluwarsa dalam KUHP yang digelar pada Senin (24/10/2022).
“Bagaimana ada pandangan-pandangan baru terhadap korban yang seharusnya dapat menuntut ganti rugi, ada pilihan di antaranya tersangka dimintai pertanggungjawaban secara materiil, meski dapat dilakukan secara perdata. Ataupun negara hadir di situ. Harus ada restitusi atau kompensasi atau apapun namanya untuk korban seperti ini yang perlu kehadiran negara. Atau mungkin bisa dikombinasikan kepada pelaku yang secara pidana tertutup untuk diadili, tapi secara existing yang bersangkutan sudah ada, tapi (kasus) sudah daluwarsa. Bagaimana supaya korban mendapatkan pemulihan baik fisik, psikis, maupun psikologis. Kami ingin pandangan-pandangan ini,” jelas Suhartoyo.
Terkait dengan pertanyaan tersebut, Anggota Komisi III DPR Supriansa menyebut dalam RUU KUHP terbaru terdapat peningkatan waktu masa daluwarsa dari yang semula 18 tahun menjadi 20 tahun. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mengakomodir terkait masukan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
“Kami akan masukan sebagai pertimbangan DPR nantinya; sebagai tambahan 2 tahun menjadi 20 tahun. Ini kesimpulannya dari kami, Yang Mulia, bahwa ini juga merupakan kesempatan bagi penegak hukum yang lain atau Kepolisian untuk mencari pelaku-pelaku pidana untuk dibawa ke meja hijau,” jawab Supriansa menanggapi perkara Nomor 86/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Robiyanto yang berprofesi sebagai wiraswasta.
Gradasi Masa Daluwarsa
Selain keterangan tersebut di atas, Supriansa juga menyampaikan adanya gradasi masa daluwarsa dalam menjalankan kewenangan penuntutan merupakan bentuk jaminan kepastian hukum, baik bagi korban maupun pihak yang akan dituntut.
Lebih lanjut ia menyebutkan, dalam Pasal 78 KUHP terdapat rasio daluwarsa dalam penuntutan. Adanya rasio tenggang daluwarsa untuk peniadaan penuntutan pidana yang didasarkan pada berat ringan ancaman pidana tersebut, bertitik tolak dari pandangan semakin berat tindak pidana yang diperbuat, maka semakin lama pula ingatan orang atau masyarakat terhadap peristiwa pidana itu.
Dengan kata lain, lamanya penderitaan yang dirasakan korban dan/atau saksi merupakan akibat dari berat ringannya jenis pidana yang diperbuat oleh terdakwa. Dengan memperhatikan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana diperbandingkan dengan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menjalankan pidana, sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 84 KUHP, maka lamanya tenggang daluwarsa hapus kewenangan menuntut pidana lebih pendek.
“Maka perbedaan itu adalah wajar dan logis sebab pada lamanya tenggang daluwarsa hapus kewenangan menjalankan pidana oleh pelaku telah secara pasti bersalah dan telah dijatuhinya pidana oleh pengadilan, sedangkan pada tenggang daluwarsa hapusnya hak penuntutan pidana, pelaku belum dinyatakan bersalah dengan jatuhnya suatu putusan pemidanaan oleh pengadilan,” jelas anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini.
Menjaga Kualitas Pembuktian
Berikutnya Supriansa menjelaskan pengajuan tuntutan pidana pada dasarnya berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya pada waktu kejadian yang sudah berlalu. Pengungkapan peristiwa itu, sambung Supriansa, memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan undang-undang, baik macam maupun cara serta sistem penggunaannya. Bahwa semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi, maka akan semakin berkurang bahkan lenyap pula suatu kejadian yang dilihat atau dialaminya.
“Oleh karena itu, berlalunya waktu yang lama akan mempengaruhi kualitas pembuktian saat persidangan. Maka, pengaturan gradasi lamanya daluwarsa pada Pasal 78 ayat (1) KUHP guna menjaga kualitas pembuktian di persidangan dan hal ini merupakan pemenuhan keadilan bagi para pihak,” kata Ketua Badan Advokasi Hukum dan HAM DPP Partai Golkar ini.
Selanjutnya terkait dalil yang disampaikan oleh Pemohon tentang rasio lamanya daluwarsa tuntutan pidana sebagaimana Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP yang dianggap tidak setara atau tidak adil dalam Pasal a quo bukan merupakan ketentuan yang bertentangan dengan konstitusi, melainkan dengan norma tersebut akan didapat kepastian hukum dan keadilan yang lazim dalam sistem hukum pidana.
Untuk diketahui, DPR dan Pemerintah saat ini sedang dalam tahap pembahasan rancangan RUU KUHP, yang di dalamnya memuat ketentuan kadaluwarsa yang masih tetap diatur di dalam norma tersebut. Sebab hal terkait kewenangan penuntutan tersebut masih diperlukan guna menjamin kepastian hukum serta keadilan di masa yang akan datang.
Sebelum menutup persidangan, Aswanto mengatakan sidang ditunda hingga Senin, 14 November 2022 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) selaku pemberi keterangan.
Sebagai informasi, Pemohon mendalilkan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon menceritakan orang tuanya atas nama Taslim meninggal dunia pada 14 April 2002 akibat dibunuh secara sadis di Pasar Malam Balai, Kelurahan Karimun, Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau.
Atas kejadian ini, Pemohon melapor pada Kepolisian Resor Karimun. Terhadap laporan tersebut ditetapkan dua orang yang kemudian terpidana penjara selama 15 tahun, sedangkan 5 lima orang lainnya yang masuk pada daftar pencarian orang (DPO). Namun perkara atas 2 orang yang ditetapkan tersangka oleh Majelis Hakim dihentikan penyidikannya oleh Kepolisian Republik Indonesia dengan alasan hukum perkara daluwarsa sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP.
Ketidakadilan masa daluwarsa penuntutan yang dialami Pemohon pada perkara ini, berpotensi membuat pelaku tindak pidana berat, keji, dan biadab yang semestinya dihukum mati atau seumur hidup tidak memperoleh hukuman sebagaimana perbuatannya. Selain itu, sambung Jhon, pasal a quo juga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon atas hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Sebab daluwarsanya masa penuntutan terhadap pelaku tindak pidana mati atau pidana penjara seumur hidup (dalam hal ini 20 tahun) yang daluwarsanya hanya 18 tahun. Di tambah pula, Pemohon berpotensi tidak adanya kepastian hukum terhadap kematian orang tua Pemohon terhadap 5 orang masih DPO dan belum ditemukan sampai saat ini.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon dalam Petitumnya memohon pada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan materi muatan Pasal 78 Ayat 1 Angka (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lebih dari delapan belas tahun dan atau 36 tahun.”
Sumber: mkri.id