Jakarta, JurnalBabel.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang keenam pengujian formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) pada Selasa (8/11/2022).
Permohonan ini diajukan oleh lima Pemohon yaitu Ismail Hasani, Laurensius Arliman, Bayu Satria Utomo, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Agenda sidang perkara Nomor 82/PUU-XX/2022 pada hari ini yaitu mendengarkan keterangan DPR. Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut, Anggota Komisi III DPR RI Supriansa menjelaskan pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) serta tindak lanjut dari Putusan Nomor 91/PUU-XVII/2020.
“Bahwa dengan pertimbangan hukum dari tersebut, dengan ini Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadikan pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut,” ujar Supriansa.
Kemudian, DPR pun menegaskan pembentukan UU P3 telah dilakukan sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga tidak terdapat cacat formil terhadapnya.
“Pembentukan UU a quo berangkat dari semangat untuk menyempurnakan peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat,” terang Supriansa.
Menurut Supriansa, dalil pemohon tidak sesuai dengan semangat pembentukan kajian teoritis dan praktik empiris dalam penyempurnaan peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
Politisi Partai Golkar ini menyebut, MK telah memutus pengujian formil UU P3 dalam Putusan Nomor 69/PUU-XX/2022 tanggal 31 Oktober 2022 yang mengatakan pembentukan peraturan perundang-undangan dengan menyatakan pembentukan UU tersebut tidak melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan atas kejelasan rumusan dan atas keterbukaan melalui serangkaian kegiatan untuk memperoleh partisipasi publik.
Selain itu, sambungnya, MK juga berpendapat proses pembentukan UU P3 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Dengan demikian, DPR memohon kepada MK agar memberikan amar putusan dengan menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sesuai dengan permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima serta menolak permohonan untuk seluruhnya atau paling tidak menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima. Kemudian, menerima keterangan DPR secara keseluruhan dan menyatakan keseluruhan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah sesuai dengan UUD 1945 dan tetap memperhatikan ketentuan pembentukan undang-undang peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Peraturan perundang-undangan,” urai Supriansa.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 82/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) diajukan oleh lima Pemohon yaitu Ismail Hasani, Laurensius Arliman, Bayu Satria Utomo, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Senin (5/9/2022) menilai revisi kedua UU P3 tidak memenuhi syarat sebagai RUU kumulatif terbuka. Sebab, UU tersebut bukanlah suatu bentuk tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 karena putusan tersebut sama sekali tidak menyebutkan UU P3 bertentangan dengan UUD 1945. Hal yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja yang bermasalah, di antaranya, Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pasal 72 ayat (1) huruf a, Pasal 73 ayat (1), Pasal 96 ayat (3).
Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan proses pembahasan UU P3 tidak memperhatikan partisipasi masyarakat dan dilakukan secara tergesa-gesa. Sebab, pada praktik partisipasi dalam pembentukan revisi UU P3 hanya sampai pada tangga “informing” karena informasi hanya diberikan secara satu arah dari pembentuk undang-undang ke publik tanpa adanya saluran untuk memberikan umpan balik dan tidak ada kekuatan untuk negosiasi. Alat komunikasi yang sering digunakan untuk komunikasi ini hanyalah media berita, pamflet, poster, dan alat komunikasi sederhana lainnya.
Berikutnya, para Pemohon juga menyebutkan UU P3 merupakan inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 8 Februari 2022 yang disahkan pada 24 Mei 2022. Sehingga proses pembahasan hanya dilakukan selama 7 April 2022 hingga 24 Mei 2022. Di samping itu, para Pemohon mengatakan pembentukan UU P3 melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh karenanya, revisi dari UU P3 tidak mengindahkan asas kejelasan tujuan, asas kelembagaan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan. (Bie)
Sumber: Mkri.id