Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin, menegaskan unsur TNI/Polri dapat menjadi Penjabat Kepala Daerah di tingkat provinsi dengan syarat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) terlebih dahulu. Sebab, hal itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
“Lalu, TNI/Polri bisa jadi Penjabat Kepala Daerah itu hanya untuk tingkat provinsi. Karena TNI/Polri itu boleh menjadi ASN di level pimpinan tinggi madya yang itu hanya untuk tingkat pusat. Sehingga, dia menjadi penjabat kepala daerah hanya untuk tingkat provinsi. Untuk kabupaten/kota diisi oleh pejabat pimpinan tinggi pratama,” ujar Zulfikar dikutip dari situs dpr.go.id, Rabu (2/2/2022).
Diketahui, menurut Pasal 131 UU ASN, disebutkan bahwa Jabatan Eselon I A setara dengan Kepala Lembaga Pemerintah non-Kementerian yang setara dengan Jabatan Pimpinan Tinggi Madya. Jabatan Eselon I Adan I B setara dengan Jabatan Pimpinan Tinggi Madya, dan Jabatan Eselon II setara dengan Jabatan Tinggi Pratama.
Zulfikar menambahkan Penjabat Kepala Daerah yang akan mengisi kekosongan kepala daerah nantinya hingga 2024 tersebut, tidak harus berasal dari pejabat di internal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dikarenakan, stok eselon I atau pimpinan tinggi madya tersebut sangat banyak jumlahnya yang tersebar di beberapa kementerian/lembaga.
“Kita punya 34 kementerian, berapa banyak itu eselon I. Mulai dari Irjen, Sekjen, hingga Dirjen. Untuk kabupaten/kota, di provinsi juga punya banyak eselon II atau pimpinan tinggi pratamanya. Kalau perlu sekda kabupaten/kota itu kan juga pimpinan tinggi pratama,” tambah Anggota Fraksi Partai Golkar ini.
Menurut Zulfikar, para calon penjabat kepala daerah tersebut tidak perlu lagi dilakukan seleksi. Sebab, para pejabat tinggi tersebut sudah terpilih melalui seleksi yang dinilai sudah memiliki perhatian terhadap daerah, memiliki kemampuan komunikasi yang baik, serta keahlian tertentu.
“Sekarang itu yang dipikirkan adalah jangan sampai pejabat daerah itu jadi alat pemenangan. Jangan dipakai untuk mesin pendulang suara untuk paslon atau caleg. Jangan kita kembali ke zaman orde baru atau lama. Karena kita ingin konsolidasi demokrasi atau kontestasi kita semakin bermartabat, berintegritas,” jelasnya.
Selain itu, ungkap Zulfikar, aturan mengenai sejauh apa kewenangan Penjabat Kepala Daerah belum diatur secara jelas. Aturan yang ada saat ini, baik dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) maupun Permendagri hanya untuk pejabat dalam nomenklatur Penjabat Sementara (Pjs), Pelaksana Harian (Plh) atau Pelaksana Tugas (Plt).
Karena itu, menurutnya, Penjabat Kepala Daerah dapat memiliki kewenangan yang sama persis dengan kepala daerah definitif karena sesuai perintah undang-undang untuk mengisi kekosongan jalannya pemerintahan.
“Dia bisa datang ke DPRD teken anggaran, mutasi kepegawaian, pelayanan bisa apalagi. Tapi kan selama ini belum ada kejelasan norma kewenangan penjabat itu. Sehingga, Kemendagri itu berpikir cobalah sebelum terjadi ratusan provinsi dan kabupaten/kota itu ada penjabat kepala daerahnya, dipikirkan itu agar tidak terjadi pertanyaan yang buat kekhawatiran,” harap legislator dapil Jawa Timur III tersebut.
Dengan demikian, jika para Penjabat Kepala Daerah ini bisa berjalan sesuai kewenangan, Zulfikar yakin tidak akan ada masalah, meskipun waktu menjabatnya hingga sampai dua tahun.
“Untuk menjaga kekhawatiran penjabat itu memang benar-benar membuat pemerintahan itu bisa berjalan sebenar-benarnya, semua harus kita hadirkan,” tutup Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu. (Bie)