Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, menyatakan fraksinya memandang positif hadirnya pengaturan kesejahteraan ibu dan anak dalam sebuah Undang-Undang (UU).
Namun, fraksinya memberikan catatan terhadap lahir Rancangan Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2022 yang diusulkan oleh DPR, khususnya dalam proses harmonisasi.
Pertama, pengaturan sanksi yang harus diperjelas, khususnya draft pasal 21-23. Menurut Zulfikar, apakah sanksi dalam draft ini dapat dikenakan pada instansi pemerintah yang tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam ketentuan dalam RUU ini.
Kedua, program kesejahteraan ibu dan anak yang dibebankan kepada pemerintah, baik pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan 35 draft RUU ini, kata Zulfikar, harus dipikirkan apakah pemerintah mampu mendanai semua kegiatan tersebut. Terlebih lagi pemerintah saat ini sedang menangani pandemi Covid-19.
“Jangan sampai DPR membuat UU yang justru memberatkan Pemerintah dan akhirnya UU ini sulit dijalankan. Apalagi adanya sanksi dalam pengaturan draft Pasal 21-23 yang diberikan kepada pihak tidak menjalankan kewajiban sebagaimana diatur RUU ini. Dalam hal ini Pemerintah salah satu yang diatur,” kata Zulfikar dalam rapat pleno pengambilan keputusan atas hasil harmonisasi RUU KIA di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/6/2022).
Ketiga, perlu dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap definisi ibu yang lebih jelas dalam draft pasal 1 angka 3 RUU ini. Pasalnya, sebut Zulfikar, definisi yang ada belum mencakup pengertian seorang ibu yang memiliki anak jika dikarenakan tindak pidana pemaksaan atau kehamilan diluar pernikahan tanpa mendegradasi kesakralan institusi pendidikan.
“Tentunya jangan sampai lahirnya UU ini menjadi dasar pembiaran lahirnya anak diluar pernikahan atau keluarga yang resmi,” ujarnya.
Keempat, dalam draft RUU ini banyak pengaturan terkait tugas pokok dan fungsi instansi atau lembaga lainnya seperti BKKBN. Kemudian, dalam pasal 20 draft RUU ini diatur juga fasilitas kewajiban pelayanan kesehatan yang berada dibawah kewenangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Tentunya diperlukan pengaturan koordinasi lintas instansi yang jelas dan baik. Jangan sampai lahirnya UU ini menciptakan ketidakpastiaan atau ketidakjelasan kewenangan instansi yang sudah ada, dan akhirnya kontraproduktif dari tujuan utama mensejahterakan ibu dan anak,” tuturnya.
Kelima, perlu dipertimbangan dengan cermat beban atau kewajiban yang diberikan kepada badan usaha dalam draft RUU ini seperti diatur dalam Pasal 4,5,6 dan 35, dimana badan usaha dalam menciptakan kesejahteraan ibu dan anak.
Diantaranya wajib menyediakan sumber pendanaan, memberikan cuti melahirkan kepada ibu sampai 6 bulan maupun cuti menemani kelahirkan kepada sang suami, menyediakan fasilitas khusus dan kewajiban secara penuh memberikan hak gaji kepada ibu selama cuti.
“Mengingat kemampuan keuangan setiap badan usaha, pengusaha di Indonesia tidak lah sama, maka hal-hal tersebut mesti dikaji lebih baik. Misalnya, menetapkan asas proporsionalitas kemampuan keuangan setiap badan usaha yang ada,” jelasnya.
Keenam, perlunya penyesuaian pengaturan RUU ini dengan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti pengaturan perundang-undangan ketenagakerjaan, perlindungan anak. Diantaranya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Berdasarkan pertimbangan diatas, Fraksi Partai Golkar memandang perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut terhadap penyusunan RUU ini,” pungkas anggota komisi XI DPR ini. (Bie)